Thursday, February 16, 2012

Robby

Saya seorang mantan guru sekolah musik dari Des Moines , Iowa .
Saya mendapat nafkah dengan mengajar piano-selama lebih dari 30 tahun.
Selama itu, saya menyadari tiap anak punya kemampuan musik yang
berbeda.
Tapi saya tidak pernah merasa telah menolong walaupun saya telah
mengajar
beberapa murid berbakat.
Walaupun begitu, saya ingin bercerita tentang murid yang "tertantang
secara
musik".
Contohnya adalah Robby.
Robby berumur 11 tahun, ketika ibunya memasukkan dia dalam les untuk
pertama kalinya.
Saya lebih senang kalau murid (khususnya laki-laki) mulai ketika lebih
muda, saya jelaskan itu pada Robby.
Tapi Robby berkata, ibunya selalu ingin mendengar dia bermain piano.
Jadi
saya jadikan dia murid.
Robby memulai les pianonya dan dari awal saya pikir dia tidak ada
harapan.
Robby mencoba, tapi dia tak mempunyai perasaan nada maupun irama dasar
yang
perlu dipelajari.
Tapi dia mempelajari benar-benar tangga nada dan beberapa pelajaran
awal
yang saya wajibkan untuk dipelajari semua murid.
Selama beberapa bulan, dia mencoba terus dan saya mendengarnya dengan
ngeri
dan terus mencoba menyemangatinya.
Setiap akhir pelajaran mingguannya, dia berkata, "Ibu saya akan
mendengar
saya bermain pada suatu hari."
Tapi rasanya sia-sia saja. Dia memang tak berkemampuan sejak lahir.
Saya hanya mengetahui ibunya dari jauh ketika menurunkan Robby atau
menjemput Robby.
Dia hanya tersenyum dan melambaikan tangan tapi tidak pernah turun.
Pada suatu hari, Robby tidak datang lagi ke les kami.
Saya berpikir untuk menghubunginya, tapi karena ketidakmampuannya,
mungkin
dia mau les yang lain saja.
Saya juga senang dia tidak datang lagi.
Dia menjadi iklan yang buruk untuk pengajaran saya!
Beberapa minggu sesudahnya, saya mengirimkan brosur ke tiap murid,
mengenai
pertunjukan yang akan dilaksanakan.
Yang mengagetkan saya, Robby (yang juga menerima brosur) menanyakan
saya
apakah dia bisa ikut pertunjukan itu.
Saya katakan kepadanya, pertunjukan itu untuk murid yang ada sekarang
dan
karena dia telah keluar, tentu dia tak bisa ikut.
Dia katakan bahwa ibunya sakit sehingga tak bisa mengantarnya ke les,
tapi
dia tetap terus berlatih. "Bu Hondrof... saya mau main!" dia memaksa.
Saya tidak tahu apa yang membuat saya akhirnya membolehkan dia main di
pertunjukan itu.
Mungkin karena kegigihannya atau mungkin ada sesuatu yang berkata dalam
hati saya bahwa dia akan baik-baik saja.
Malam pertunjukan datang. Aula itu dipenuhi dengan orang tua, teman,
dan
relasi.
Saya menaruh Robby pada urutan terakhir sebelum saya ke depan untuk
berterima kasih dan memainkan bagian terakhir.
Saya rasa kesalahan yang dia buat akan terjadi pada akhir acara dan
saya
bisa menutupinya dengan permainan dari saya.
Pertunjukan itu berlangsung tanpa masalah. Murid-murid telah
berlatihdan
hasilnya bagus.
Lalu Robby naik ke panggung. Bajunya kusut dan rambutnya bagaikan baru
dikocok.
"Kenapa dia tak berpakaian seperti murid lainnya?" pikir saya.
"Kenapa ibunya tidak menyisir rambutnya setidaknya untuk malam ini?"
Robby menarik kursi piano dan mulai.
Saya terkejut ketika dia menyatakan bahwa dia telah memilih Mozart's
Concerto #21 in C Major.
Saya tidak dapat bersiap untuk mendengarnya.
Jarinya ringan di tuts nada, bahkan menari dengan gesit.
Dia berpindah dari pianossimo ke fortissimo... dari allegro ke
virtuoso.
Akord tergantungnya yang diinginkan Mozart sangat mengagumkan!
Saya tak pernah mendengar lagu Mozart dimainkan orang seumur dia
sebagus
itu!
Setelah enam setengah menit, dia mengakhirinya dengan crescendo besar
dan
semua terpaku di sana dengan tepuk tangan yang meriah.
Dalam air mata, saya naik ke panggung dan memeluk Robby dengan
sukacita.
"Saya belum pernah mendengar kau bermain seperti itu, Robby! Bagaimana
kau
melakukannya?"
Melalui pengeras suara Robby menjawab, "Bu Hondorf... ingat saya
berkata
bahwa ibu saya sakit?
Ya, sebenarnya dia sakit kanker dan dia telah berlalu pagi ini.
Dan sebenarnya... dia tuli sejak lahir jadi hari inilah dia pertama
kali
mendengar saya bermain.
Saya ingin bermain secara khusus."
Tidak ada satu pun mata yang kering malam itu.
Ketika orang-orang dari Layanan sosial membawa Robby dari panggung ke
ruang
pemeliharaan, saya menyadari meskipun mata mereka merah dan bengkak,
betapa
hidup saya jauh lebih berarti karena mengambil Robby sebagai murid
saya.
Tidak, saya tidak pernah menjadi penolong, tapi malam itu saya menjadi
orang yang ditolong Robby.
Dialah gurunya dan sayalah muridnya.
Karena dialah yang mengajarkan saya arti ketekunan, kasih, percaya pada
dirimu sendiri, dan bahkan mau memberi kesempatan pada seseorang yang
tak
anda ketahui mengapa.
Peristiwa ini semakin berarti ketika, setelah bermain di Desert Storm,
Robby terbunuh oleh pengeboman yang tak masuk akal oleh Alfred
P. Murrah Federal Building di Oklahoma pada April 1995, ketika
dilaporkan... dia sedang main piano.
Dan sekarang, tambahan cerita ini. Jika anda mau meneruskan imel ini,
mungkin anda berpikir, orang mana di daftar alamat yang tidak "cocok"
untuk
menerima pesan ini. Orang yang mengirim imel ini yakin bahwa kita dapat
membuat perubahan.
Kita semua mempunyai ribuan kesempatan tiap hari untuk menyadari
rencana
Tuhan.
Banyak sekali interaksi antara dua orang memberi kita suatu pilihan:
Apakah
kita meneruskan percikan Ilahi?
Atau kita membiarkan kesempatan itu, dan membiarkan dunia semakin
dingin
dalam prosesnya?
 
 
GBU

No comments:

Post a Comment