Wednesday, February 29, 2012

Leap year....cerpen lagi

hari ini tanggal 29 Februari 2012, dan tanggal hari ini terjadi setiap 4 tahun sekali, so bagi yang ultah di hari ini pasti seneng banget karena akhirnya tiba juga hari ultahnya...
tahun ini disebut tahun kabisat....
atau dalam bahasa Inggris : leap year
ngelanjutin cerita tentang cerpen, hari ini publish cerpen karya saia lagi ya...selamat membaca.........


-AKHIR DARI SEBUANG DONGENG-
Hidup ini tak seindah dongeng. Mungkin itu adalah kalimat klise yang sering diucapkan agar manusia sadar diri tak boleh terlarut dalam kebahagiaan yang hanya sementara. Ketika sang pangeran bertemu dengan putri cantik maka hiduplah mereka dengan bahagia selamanya….karena kehidupan yang sebenarnya baru akan dimulai ketika cerita dongeng itu berakhir. Arcey namanya, hidupnya di sebuah panti penampungan anak terlantar menjadikannya selalu bersemangat menghadapi lika-liku hidup ini. Pembawaannya yang riang dan selalu ceria selalu membuat semua orang sayang padanya. Hari ini adalah ulang tahun Arcey yang ke-12, ulang tahun yang paling membahagiakan untuknya, ulang tahun yang merupakan awal kisah dongeng yang akan dijalaninya.

Sudah beberapa hari ini, bunda Nia menerima tamu yang selalu datang berkunjung. Anak-anak penampungan sering mengintip apa yang dilakukan bunda Nia terhadap pasangan yang selalu menjadi tamu rutinnya dua minggu belakangan ini. Pasangan itu bernama Bapak Ardi dan Ibu Shella. Dan hari yang ditunggu pun tiba, dimana pasangan ini ingin mengadopsi salah satu dari antara mereka dan pilihan itu jatuh pada Arcey. Suasana itu menjadi kado terindah untuk Arcey yang ditinggal keluarganya saat terjadi bencana hebat dimana hanya Arcey yang selamat sekaligus menjadi lagu sedih di antara para sesama penghuni panti penampungan. Tapi, demi kebahagiaan Arcey, mereka semua akhirnya bergembira sambil mengucapkan salam perpisahan pada Arcey dan berjanji akan saling berkirim kabar.

“Cey, jangan lupa sama kita-kita di sini ya…”, seru Tania sahabatnya.
“Pasti, Tan…,”sahut Arcey lagi.
“Kalau sudah di Jakarta langsung kirim surat, Cey…” seru Marco.
“Iya, Co…pasti…”, sahut Arcey sambil menyalami semua teman-teman panti.

Mobil mewah itu meninggalkan Malang menuju Jakarta. Dan, disinilah dongeng itu dimulai. Kelihatannya Bapak Ardi dan Ibu Shella Wirajaya ini adalah orangtua yang menyenangkan dengan kehidupan yang harmonis. Tapi, Arcey tidak melihat hal itu ketika ia bersama mereka. Ada sesuatu yang disembunyikan mereka terhadap Arcey. Arcey tiba di Jakarta di rumah megah keluarga Wirajaya. Bahagia sekali rasanya tinggal dengan keluarga lengkap seperti yang selama ini selalu diidam-idamkan oleh Arcey. Semuanya tersedia dan tidak akan lagi ia kekurangan suatu apapun.

Sudah satu bulan ini Arcey tinggal bersama dengan keluarga Wirajaya. Tapi, tidak pernah Arcey melihat mereka berdua berbicara satu sama lain. Beda sekali seperti waktu mereka datang ke panti dan berbicara dengan bunda Nia. Tapi Arcey tidak ingin begitu mengetahui permasalahan mereka, karena mereka pun tak mengizinkan Arcey untuk mengetahui lebih lanjut.

Delapan tahun sudah Arcey tinggal di rumah keluarga Wirajaya dan dalam delapan tahun inipun hidup Arcey bagai dongeng. Hidup dilimpahi dengan segala keindahan, kekayaan, kemegahan dan tidak ada kesulitan berarti selain dari kediaman ayah dan ibu yang mengangkatnya, tapi dengan Arcey mereka baik-baik saja, hanya bila mereka berdua, seperti ada tembok menghalangi. Dan tepat di ulang tahun ke-20 nya, dongeng itu pun harus berakhir. Awalnya dari kedatangan konglomerat Ardhanawiga. Sang putera tunggal, Nick Ardhanawiga yang baru saja menamatkan gelar doktornya di bidang manajemen bisnis dari Amerika di usianya yang belum 30 tahun diajak serta. Kebetulan, Pak Ardhanawiga ini berniat untuk menikahkan Nick dengan tunangannya semasa dia di Amerika, Elaire Samin dan memperkenalkan CEO baru di kerajaan bisnisnya, yaitu Nick, anaknya sendiri.

Tidak ada kesan berarti bagi Arcey mengenai Nick yang akan menjadi CEO di tempat di mana ayah bekerja. Ayah pun begitu antusias sekali menyambut Nick. Nick adalah sesosok pangeran impian yang diimpikan banyak putri cantik dari negeri dongeng. Dengan perawakan yang maskulin dan elegan, membuat Nick menjadi daya tarik yang luar biasa bagi siapa saja yang melihatnya. Wajahnya seperti enggan tersenyum, tapi dia memiliki garis wajah tegas dan misterius. Arcey mengamati semua percakapan yang tidak dimengerti olehnya. Tatapan wajahnya melihat ke arah ibu yang kurang bersemangat. Entah ada apa di antara mereka.

Percakapan itu diakhiri dengan keputusan bahwa Arcey untuk sementara tidak meneruskan kuliah dulu yang tinggal mengambil skripsi. Sesuatu yang tidak dimengerti oleh Arcey.
“Yah,…kenapa aku harus cuti kuliah? Kan tinggal ambil skripsi, yah…” tanya Arcey.
“Ah, kuliah kan bisa ngambil nanti-nanti…kesempatan itu tidak datang dua kali, Cey…” jawab ayah.
“Tapi, kenapa begitu, yah….?” tanya Arcey lagi.
“Arcey jangan banyak tanya ya….yang penting ini kan untuk Arcey juga….”, sahut ayah sambil berlalu pergi.

Arcey melihat ibu hanya terdiam membisu. Dan Arcey merasa tidak ada gunanya untuk berbicara dengan ibu. Mau berkirim surat ke Bunda Nia, Arcey tidak mau membuat bunda Nia jadi sedih. Kirim surat ke Tania, Marco atau teman-teman lain, sepertinya tidak sanggup ia menceritakannya…teman-temannya sudah memiliki kehidupan masing-masing dan mereka sangat bahagia. Arcey tidak ingin masalahnya membuat teman-temannya bersedih hati. “Lagipula ini bukan masalah….hanya sementara waktu cuti kuliah, nanti kan bisa melanjutkan lagi…” Arcey berkata dalam hati untuk menghibur diri.

Hari pertama Arcey di kantor Ardhanawiga Company tidak begitu baik dikarenakan dia belum begitu paham seluk beluk dunia kerja. Posisinya sebagai technical project membuat ia harus sering-sering bertanya dengan orang yang mumpuni di bidangnya. Pekerjaan Arcey sebenarnya membuat presentase project yang akan dilakukan. Tapi masalahnya, CEO yang baru itu sangat amat perfeksionis. Dia bisa menghalau project siapa saja yang dianggapnya tak bermutu. Tidak pernah memikirkan perasaan orang lain entah itu sakit hati atau tersinggung, dan Arcey mengalaminya.

“Project apaan ini!!!!” Nick melempar presentase project Arcey yang dibuatnya dengan susah payah hampir mengenai muka Arcey.
Seketika, muka Arcey pucat…belum pernah ia mendapatkan perlakuan seperti ini, baik di panti maupun di rumah.

“Heh!!, ga bisa ngomong kamu!!!, kamu sekolah nggak??!!! Pake dong otak kalau kerja!!!, hardik Nick lagi.
“I…i….ini….pak….” Arcey menjawab terbata-bata.
“Hah….nggak jelas kamu ini, panggil supervisor kamu…Arman!!!!!, panggil Nick keras.

Pak Arman yang baik hati itu dimarahi habis-habisan oleh Nick membuat Arcey jadi sedih dan merasa bersalah. Setelah keduanya keluar dari ruangan Nick, Arcey mendatangi ruangan Pak Arman.

“Pak Arman, saya minta maaf, pak….gara-gara saya Bapak dimarahi oleh Pak Nick…” sahut Arcey dengan nada yang menggambarkan penyesalannya.
“Tidak apa-apa kok, Cey…jangan diambil hati kata-kata Pak Nick ya…” seru Pak Arman lembut.
Arcey hanya mengangguk. Tapi bukan kali itu saja Arcey kena getahnya, dalam sebulan sudah empat kali dia di panggil dan dibentak karena kesalahannya. Arcey jadi sedih dan berniat untuk mengundurkan diri saja dan hal itu sangat di tentang oleh ayah.
“Apa-apaan kamu…!!” seru ayah marah.
“Arcey selalu salah, Yah….nanti Arcey malah bikin malu ayah…” Arcey menunduk sedih.
“Cey, ayah yakin kamu anak yang baik dan kamu memiliki kemampuan itu, Nak…” ayah berkata lembut sambil mengelus rambut Arcey.
“Iya, yah…doaian aku ya, yah….” Sahut Arcey lagi.

Ayah dan ibu bangkit berdiri meninggalkan Arcey. “Kasihan anak itu….” sahut ibu. Ayah hanya diam. “Seharusnya kita mengatakan padanya, dia kita jadikan jaminan kalau kita akan melunasi semua hutang kita….” kata ibu lagi.
Ayah hanya terdiam membisu. Masalahnya adalah hutang piutang. Sejak lama Pak Ardi dan Ibu Shella menginginkan seorang anak. Dulu, akibat kelalaian mereka, sang anak meninggal karena terjatuh ke kolam renang saat berusia balita dan sejak saat itu ibu Shella mengalami shock berat. Keputusan untuk mengambil Arcey sebagai anak adalah keputusan terbaik. Selama Shella shock, Ardi malah uring-uringan, berjudi, membuang-buang uang sehingga memiliki setumpuk utang. Utang yang terbesar adalah waktu terjadi penggelapan uang perusahaan Ardhanawiga yang dikorupsi oleh Ardi. Pak Ardhanawiga memberi kesempatan pada Ardi untuk melunasi utangnya dan tidak membawa perkara itu ke kantor polisi. Selama ini bisa dikatakan gaji Ardi dipotong 50% untuk pembayaran utang. Tapi, tetap saja utang masih menumpuk. Ardi sudah tidak mampu lagi membayar uang kuliah Arcey dan kehidupan mewah mereka. Harus ada yang dikorbankan, sementara Ardi sudah berumur. Ardi akhirnya mengorbankan Arcey untuk bekerja di sana sebagai sumber penghasilan mereka.

Arcey bingung apa yang terjadi dengan keluarganya. Rumah mereka dijual dan segala asset mereka dijual. Mereka kini pindah ke rumah yang sederhana, tapi Arcey menyukainya. Sudah tidak ada lagi supir dan mbak yang melayani di rumah mereka. Biarpun Arcey bingung dan ingin bertanya, dia sudah cukup besar untuk mengerti apa yang terjadi di rumah mereka.

Ardi dan Shella sangat menyayangi Arcey seperti anak mereka sendiri. Melihat Arcey seperti melihat malaikat, mereka sangat bahagia. Ayah sebenarnya sedih harus membiarkan Arcey bekerja, tapi hutang yang menumpuk mengalahkan segalanya. Kedengarannya memang klise, seorang anak dikorbankan untuk hutang keluarga. Arcey akhirnya mengetahui semua itu ketika ia tak sengaja lewat waktu ayah dan ibu bercakap-cakap. Arcey tak ingin membuat ayah dan ibu sedih, jadi dia putuskan untuk tidak lagi kuliah (kalau sebelumnya hanya cuti) demi keuangan keluarga.

Seorang wanita elegan memasuki ruangan kantor dengan wanginya yang menusuk. Arcey melihat wanita itu masuk dan memarahi Chilla, sekretaris Nick yang menyuruhnya untuk menunggu sembari Chilla menelpon Nick. Tidak tahu apa yang dilakukan wanita itu di dalam, karena tidak berapa lama, wanita itu bergelayut manja dengan Nick di sebelahnya. Setelah keduanya pergi, mulailah bisik-bisik dimulai…

“Eh, itu kan tunangannya Pak Nick, namanya Elaire…” bisik Chilla.
“Ih, gayanya nggak banget deh…” cibir Risa.
“Katanya lulusan Amerika tuh…” bisik Mindy.
“Ih, Amerika gayanya kayak ketumpahan parfum….” cibir Risa lagi.
“Eh, Cey…diem aja lo…” Mindy menyikut Arcey. Arcey kaget.
“Saingan berat lo tuh, Cey…” seru Mindy lagi.
“Saingan gimana mbak Mindy…?” tanya Arcey tak mengerti.
“Ya elah ini anak ….polos banget sihhhh….” Risa berkata gemas melihat tatapan innocent Arcey.
“Lo tau gak, Cey…denger-denger, dia tuh mau ngajuin proyek gitu deh…tapi adenya sih…bisa kalah lo, Cey, secara lo harus dapat tanda tangan Pak Nick, dan lo tau kan, Pak Nick itu sensi banget sama lo, Cey…pastinya lo bakal ditolak…pastinya adenya si Elaire itu yang akan dapat….” Mindy berceloteh.
Arcey diam. Arcey memang sedang mengerjakan sebuah mega proyek dimana mega proyek ini bisa membangun kembali kesejahteraan keluarga. Tapi, biarpun presentasinya sangat amat bagus dan meyakinkan bahkan banyak dilirik investor, tanpa tanda tangan Nick semua itu sia-sia saja.
“Cey…” Mindy membuyarkan lamunan Arcey.
“Hmmm, kan belum tentu juga mbak project adenya ibu Elaire diterima kalau tidak bagus…” Arcey akhirnya bicara.
“Cey…cey…..anak siapa sih lo?? Baik banget…” Risa geleng-geleng kepala.
“Chill…coba lo kasih tau sama nih anak bungsu kita….tentang bos lo itu…” Mindy menoleh ke arah Chilla.
“Cey,…Pak Nick itu…kalau yang namanya udah ibu Elaire yang minta, susah nolaknya…ga bakal ditolak malahan,,,jadi kayaknya kamu harus siap-siap menyerah kalah deh…” sahut Chilla tidak sampai hati dia membayangkan hardikan keras Nick yang akan menghujani Arcey.

Arcey diam. Dalam hati dia tetap berkeyakinan kalau projectnya kali ini akan berhasil. Di kantor, di rumah dan dimanapun ia menyerahkan segenap waktunya untuk membuat projectnya. Arcey tidak terlalu berharap projectnya diterima, paling tidak dilirik sebentar oleh Nick pun tak jadi masalah.
Hari presentasi yang ditunggu pun tiba. Semua project harus masuk paling lambat pukul 16.00. Setelah jam tersebut, kesempatan ditutup. Hujan deras menghambat perjalanan Arcey. Dia menyalahkan diri sendiri karena lupa membawa projectnya ke kantor tadi pagi dan baru ingat pada pukul 2 siang. Semalam ia mengerjakan sampai pagi, tak sempat sarapan pula. Arcey tiba kembali untuk memasukkan project pada pukul 16.10. Lewat 10 menit dari waktu yang ditentukan. Chilla tidak bisa berbuat apa-apa, karena semua project sudah masuk ke ruangan Nick. Biar Arcey memohon sekalipun, Chilla tetap tidak bisa memasukkan project Arcey.
“Mbak Chilla, tolong saya dong mbak….” pinta Arcey memelas.
“Nggak bisa, Cey…kamu kan tahu gimana Pak Nick…” Chilla menatap Arcey iba.
“Tapi, mbak…..” Arcey belum selesai berkata-kata ketika Nick keluar dengan wajah batu.
“Pak….” Chilla jadi serba salah.

Nick menatap Arcey yang basah kuyup karena kehujanan. Tapi mukanya tetap sama, tak ada perubahan. Tidak lama kemudian, datanglah Elaire dengan suara manjanya. Wajah Nick tetap tidak berubah.
“Halo honey….maaf ya….aku telat…ini, aku mau masukin project adikku…” seru Elaire manja.
“Maaf bu…penerimaan project su…..” belum selesai Chilla berkata, dipotong langsung oleh Nick, “ bawa project Elaire ke meja saya, Chilla…..”.
Chilla tidak banyak berkata-kata lagi, ia mengambil project Elaire dan membawanya masuk ke ruangan Nick.

“Pak Nick…..”, Arcey memberanikan diri bicara.
Nick menoleh ke arah Arcey dan Elaire juga.
“Maaf, pak… saya terlambat..tapi bolehkah…..” belum selesai Arcey bicara, dijawab dengan kasar… “Tidak…kamu terlambat…”
“Tapi, pak…ibu Elaire juga terlambat, tapi kenapa masih…..” Arcey tak melanjutkan kata-katanya melihat sikap dingin Nick.
“Maaf, pak…” Arcey menunduk.
Elaire mendengus, “jangan samakan dirimu dengan aku!!”
Arcey menatap kepergian Nick dan Elaire.
“Sabar, Cey…” ucap Chilla prihatin.
“Mbak…saya sudah buat project ini sebulan tanpa henti, mbak…tapi kenapa dilirik pun tidak….” Arcey mulai menangis.
“Sabar, Cey….” Hibur Chilla.
“Terima kasih, mbak….” sahut Arcey  dan kemudian berlalu pergi. Chilla memandang dengan tatapan penuh iba.

Ayah dan ibu tidak tahu harus berkata apa melihat Arcey dengan sedih pulang ke rumah. Ayah dan ibu sudah menduga semua projectnya gagal. Mereka ingin menghibur Arcey, hanya bingung saja bagaimana harus menghiburnya. Dibiarkannya Arcey melamun dalam kesedihan, karena merekapun tak tahu harus berbuat apa.

“Marco!!!” pekik Arcey senang.
“Cey….!!!” Marco pun tak dapat melukiskan kebahagiaannya.
“Ngapain disini….?” tanya Arcey.
“Ih, kamu yang ngapain?? Aku disini diajak kakak angkatku untuk presentasi project” sahut Marco.

Hal yang tidak diduga-duga. Marco ternyata diangkat menjadi anak keluarga Samin. Hal yang tidak disangkanya juga, kalau Marco-lah pesaingnya dalam memenangkan project ini. Tepat pukul 12 siang presentasi selesai, tapi sikap Marco siang ini sangat berbeda dengan Marco yang disapanya tadi pagi. Berbeda dengan Marco yang dulu sering bermain bersama dirinya dan Tania. Kali ini ia bersikap seolah-olah tak mengenali Arcey. Arcey bingung dengan sikap Marco. “Maaf, Cey….aku tidak bisa mengaku kalau aku anak dari panti seperti dirimu…Elaire akan membuat kamu lebih sengsara lagi bila ia mengetahui kamu, sahabatku adalah pesaingku. Ia bukan orang yang baik, Cey..jadi, daripada nanti dia bertindak tidak baik kepadamu adalah lebih baik bila kita tidak saling kenal…” bisik Marco dalam hati.

Pertemuan dengan Marco saat presentasi adalah kali terakhir Arcey melihatnya. Entah kenapa, menurut Chilla, Marco memutuskan menunda projectnya dan memilih kuliah Master di Amerika. Tidak ada yang tahu motif kepergian Marco selain Marco sendiri. “Maafkan aku, Cey…pergi tanpa pamitan kembali….Bila kepergianku bisa membuat Arcey memenangkan mega proyeknya, maka aku adalah orang yang paling bahagia yang pernah ada di muka bumi ini…” seru Marco dalam pesawat yang membawanya terbang ke Amerika.

Arcey bahagia telah mengetahui kehidupan Marco di keluarganya yang baru. Dia juga mendengar sekarang Tania telah hidup mandiri sambil sesekali menengok bunda Nia. Ingin rasanya berada di pelukan bunda Nia, menceritakan segala yang ada di dalam hatinya. Tapi, untuk sekarang ini hal tersebut tidak mungkin dapat dilakukan karena keterbatasan financial. Arcey tak ingin membuat bunda sedih ataupun memikirkan keadaannya, Arcey ingin bunda selalu mengetahui kalau Arcey bahagia dengan keluarga barunya.

Arcey berusaha mencari jalan agar projectnya bisa masuk kualifikasi. Berkat usaha dan penantiannya, akhirnya kesempatan itu datang juga. Agar tidak lagi melakukan kesalahan yang sama, sehari sebelumnya Arcey telah menitipkan projectnya pada Chilla. Hari yang ditunggu pun tiba, hari presentasi project. Tibalah giliran Arcey, dengan begitu semangat Arcey berdiri untuk memulai presentasinya. Terlihat olehnya perubahan wajah Nick yang tiba-tiba mulai tak bersahabat. Belum selesai kalimat pembuka presentasinya, Nick langsung berujar.. “cukup…hentikan…selesai…ditolak!!!”
Arcey kaget dan berkata, “ tapi, pak….?”
“Tidak ada tapi-tapian…” seru Nick tegas sambil berdiri.
“Bapak dengar dulu hasil presentasi saya…” Arcey masih mencoba berusaha.
“Saya tidak mau dengar…” ucap Nick tajam.
“Tapi, pak…” Arcey masih mencoba berkata-kata.
“Kamu itu terlalu banyak tapi…tapi….dasar tak berguna!!!” hardik Nick.
“Pak, tolong beri saya kesempatan…” pinta Arcey lagi.
Nick tetap bergeming. Ia tak peduli walau Arcey meminta dan meminta kesempatan diberikan padanya. Arcey hanya terdiam membisu, tak tahu harus berkata apa lagi, karena Nick tetap pada keputusannya tidak akan memberi kesempatan pada Arcey.

Elaire yang ada disitu tersenyum puas. Ia akan memenangkan project itu. Chilla hanya menatap Arcey dengan pandangan iba. Arcey masih mencoba meluluhkan hati Nick,tapi Nick tetap tak peduli.

Ada berita mengagetkan pagi ini. Project Elaire diterima dan itu artinya ia akan membuat sebuah mal dilengkapi dengan kondominium elite di kawasan Malang. Ya…di kawasan tempat panti bunda Nia. Arcey menghubungi bunda Nia yang sedih hatinya mendengar kabar penggusuran itu. Tak ada yang dapat dilakukan Arcey selain mendapat tanda tangan Nick untuk membatalkan project itu.

Arcey menunggu sampai Nick pulang, tapi Nick tak mempedulikannya. Ia berusaha menemuinya di lobi, Nick malah mengacuhkannya. Project itu memang belum direalisasikan dalam waktu dekat ini, karena harus mengurus segala macam izin, dll tapi setidaknya sudah ada kepastian bahwa akan dibangun dalam setahun ke depan.

Pada saat yang ditentukan, keluarga Wirajaya tetap tidak bisa membayar hutang. Keluarga Ardhanawiga berencana membawa kasus ini ke pengadilan. Arcey memohon kepada Pak Ardhanawiga untuk memberi kesempatan, bahkan dia rela tidak digaji asal ayah tidak dibawa ke kursi pesakitan. Salah satu kerabat Ardhanawiga mengatakan, harus ada jaminan kalau Arcey bersedia untuk membayar hutang dan itu artinya ada perjanjian selama setahun dimana Arcey harus menikah dengan Nick dan berakhir setahun kemudian. Arcey terdiam dan kaget mendengarnya, begitu juga Nick dan Elaire. Hal tersebut menambah benci Elaire terhadap Arcey.

Ayah dan ibu tidak bisa berkata apa-apa, begitu juga Arcey. Akhirnya, cerita sinetron pun dimulai. Keduanya mau tidak mau setuju memenuhi perjanjian itu. Tidak banyak yang tahu tentang pernikahan semu ini, hanya keluarga dekat saja yang tahu. Arcey pun pindah dari rumah sederhana Wirajaya ke rumah mewah Ardhanawiga. Ingatannya kembali ke masa lalu, ke masa hidupnya bagai dongeng.

Pertama kali memasuki rumah itu, Arcey diperlakukan layaknya orang asing yang tidak diharapkan. Ia tidur di dalam gudang kotor yang hanya dialasi oleh ubin dingin. Arcey sedih sekali, tapi ia tak pernah menceritakan hal itu kepada ayah dan ibu. Setelah seminggu tinggal di gudang, Arcey ditempatkan di samping kamar pembantu, tanpa kasur dan selimut…hanya beralaskan keramik dingin. Arcey mengalasinya dengan kertas koran yang dimintanya dari Mbok Minah yang sayang padanya. Ayah dan ibu tidak diperbolehkan untuk datang, jadi sesekali Arcey yang mengunjungi mereka. Bapak dan Ibu Ardhanawiga tidak begitu peduli dengan kehadiran Arcey. Di rumah itu juga tinggal Om dan tante Nick yang juga tidak menyukai Arcey. Nenek juga tidak menyukai Arcey awalnya, tapi seiring waktu, Nenek mulai menyukainya. Arcey gadis yang baik dan ceria, Nenek sangat menyukai cara Arcey bercerita menghiburnya.

Masalah project belum selesai, ayah kembali ditipu temannya dan seluruh tabungan ludes. Ayah shock dan masuk rumah sakit. Ayah memerlukan dana 10 juta untuk operasi dan harus ada malam ini. Ibu hanya menangis tidak tahu harus berbuat apa. Arcey bingung, minta tolong kepada siapa, teman-teman kuliahnya pastinya belum ada yang bekerja untuk dimintai tolong, Marco di Amerika, bunda Nia?? Ah, tak ingin dia mengganggu bunda Nia dengan masalahnya. Satu-satunya harapan Arcey adalah Nick. Minta tolong sama nenek, nanti nenek bisa salah kaprah mengenai kedekatan mereka. Akhirnya Arcey memberanikan diri untuk minta tolong pada Nick.

Sejak hari pernikahan mereka sampai hari ini sudah tiga bulan berlalu, Nick tidak pernah bicara sepatah katapun pada Arcey. Sebenarnya ada perjanjian dimana Arcey tidak boleh minta apapun menyangkut dengan uang dan keluarganya. Arcey melihat kamar kerjanya masih menyala lampunya sehingga ia memberanikan diri untuk mengetoknya. Tidak ada jawaban, akhirnya Arcey masuk.
“Maaf….” Belum selesai Arcey berkata langsung dipotong Nick “ ada apa?”
Ragu-ragu Arcey berbicara, “aku mau minta to……” yang langsung disambar oleh Nick, “Minta tolong apa? Minta pinjam uang? Karena ayahmu masuk rumah sakit dan harus operasi kalau tidak operasi akan lumpuh???” seru Nick ketus.
“Iya…” sahut Arcey.
“Kamu pikir kamu itu siapa? Berani-beraninya minta seperti itu….” dengus Nick.
“Tapi aku akan ganti, Nick….”seru Arcey lagi.
“Ganti?? Ganti pake apa? Hidupmu udah susah kok malah bilang mau ganti!!!” seru Nick tajam.
“Pasti aku ganti, kalau tidak, aku bersedia tidak digaji sampai hutangku lunas” Arcey masih berusaha melunakkan hati Nick.
Nick menoleh hendak menghardik Arcey tatkala Elaire masuk.
“Heh, ngapain kamu disini?” hardiknya kasar.
Arcey kaget melihatnya. Seketika keringat dingin mengucur ke seluruh telapak tangan Arcey. Jika Elaire tahu ia mau berhutang pada Nick, hal itu akan diberitahukan kepada seluruh keluarga Ardhanawiga dan Arcey tidak bisa membayangkan hal buruk apa yang akan terjadi. Arcey hanya diam. Tak mendapatkan jawaban, tak menyurutkan niat Elaire untuk bertanya pada Nick. Arcey kaget sekali, ia berharap Nick tidak mengatakan maksud dan tujuannya untuk datang ke kamar kerja Nick. Karena dalam perjanjian tertulis, sekali saja Arcey berniat berhutang pada mereka, maka rumah sederhana mereka akan disita. Nanti dimana ayah dan ibu akan tinggal?

Arcey hanya menunduk lemas dan berharap Nick tidak mengatakannya pada Elaire. Nick pun dengan kesal menjawab : “Dia…mau aku….” Nick tak melanjutkan kata-katanya ketika melihat Arcey menatapnya dengan tatapan menghiba… “Dia datang karena kupanggil, kerjaannya banyak yang tidak beres….” lanjut Nick lagi. Arcey kaget mendengar kalimat Nick barusan. Nick tidak mengatakan bahwa dia ingin berhutang. Setelah beberapa saat Elaire akhirnya pergi.
“Nick, terima kasih telah membela saya…..” kata Arcey
“Aku hanya tidak ingin ribut-ribut, masih banyak kerjaan…jadi jangan kamu pikir aku belain kamu….” seru Nick dengan sikap tak peduli.
“Apapun itu, terima kasih telah membantu aku….aku janji, sejak saat ini sampai nantinya, aku tidak akan minta apa-apa lagi, aku akan memenuhi perjanjian awal kita…aku tidak akan minta sesuatu untuk kepentingan keluargaku maupun diriku sendiri…” sahut Arcey.

Nick tidak menjawab hanya menyuruh Arcey pergi. Sepeninggal Arcey, Nick kembali merenungi kejadian barusan. Sudah lama rasanya dia tidak melihat Arcey, meski satu rumah, Arcey tidak pernah menampakkan dirinya. Biarpun ke kantor yang sama, tapi kalau pergi ataupun pulang, tidak pernah bersama. Ada suatu rasa yang tiba-tiba datang ke dalam diri Nick. Rasa dimana ia melihat tatapan menghiba Arcey dan dia iba….Nick menghalau segala bayangan yang merasuki pikirannya dan mulai berkonsentrasi dengan pekerjaannya.

Arcey bingung, harus pergi kemana untuk meminjam uang. Ia membelai Sooby anjing kecilnya. Keluarga Ardhanawiga tidak begitu menyukai Sooby. Akhirnya keputusan berat pun dibuat oleh Arcey, ia menjual Sooby dan menangis menatap Sooby yang ditinggalkannya di pet shop. Tapi, hasil penjualan Sooby masih kurang, dan dengan terpaksa ia meminjam uang pada rentenir Om Naro dengan bunga yang sangat tinggi. Tak ada yang dapat dilakukan Arcey selain menerima tawaran Om Naro. Operasi berhasil dilaksanakan sehingga ayah bisa kembali pulang ke rumah. Sekarang Arcey yang pusing memikirkan membayar hutang kepada Om Naro.

Malam minggu di rumah, bapak, ibu, om, tante dan nenek menghadiri acara resepsi pernikahan kerabat mereka. Nick tidak ikut dikarenakan ada janji dengan Elaire yang akhirnya batal karena Elaire harus segera mengurus beberapa proyeknya di luar kota. Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Hanya ada Mbok Minah, Pak Amdan dan kedua anaknya Rano dan Sida yang bekerja di rumah keluarga Ardhanawiga. Nick keluar dari meja kerjanya dan melihat suasana rumah yang sepi. Biasanya dia mendengar suara Sooby, anjing Arcey yang tidak disukainya, tapi kali ini entah mengapa dia ingin sekali mendengar suara Sooby. Dan setelah ia mengetahui dari Mbok Minah kalau Sooby dijual oleh Arcey, ia berniat untuk mencari dan bertanya pada Arcey.

Nick berjalan berkeliling dan melihat Arcey di tepi kolam renang sambil melamun. Ingin ditegurnya, tapi ia melihat raut kesedihan di mata Arcey.
“Ngapain kamu disini?” tegur Nick akhirnya.
Arcey kaget melihat Nick, “hanya duduk saja…” sahut Arcey sambil tersenyum menutupi kesedihan hatinya. “Kamu nggak pergi sama Elaire?” tanya Arcey lagi.
“Tidak” jawab Nick singkat.
Arcey bingung mau berkata apa lagi. Belum pernah ia bercakap-cakap dengan Nick. Selama ini Nick selalu marah dan menghardiknya.
“Mana Sooby?” tanya Nick lagi.
Arcey mengeryitkan dahi tak mengerti. “Ehm, mungkin pertanyaannya diganti, kenapa Sooby kamu jual?” tanya Nick lagi.
“Tidak kenapa-kenapa” sahut Arcey lagi karena bingung harus menjawab apa.
“Kok tidak kenapa-kenapa dijual?” tanya Nick.
“Ya tidak apa-apa…nanti kan bisa dibeli lagi….” seru Arcey.
“Di jual buat biaya operasi ayahmu ya? Memang uangnya cukup?” tanya Nick lagi.
Arcey tidak menjawab. Ia bingung harus berkata apa lagi. Tidak mungkin ia mengatakan bahwa Sooby dijual untuk menambah biaya operasi ayah serta obat-obatannya. Nick melihat perubahan di wajah Arcey dan entah mengapa ia tak ingin bertanya lebih lanjut lagi. Ada suatu rasa…mungkin rasa kasihan yang membuat Nick tidak ingin melanjutkan lagi pertanyaannya mengenai Sooby. Sejenak mereka terdiam.
“Bagaimana kalau kita main??” Arcey mencairkan suasana yang beku.
“Main? Main apa?” tanya Nick.
“Scrable” jawab Arcey lagi.
Malam minggu dihabiskan dengan bermain Scrable. Nick melihat sisi lain dari Arcey, melihatnya tertawa gembira. Sesuatu yang tidak pernah dilihat Nick atau karena Nick enggan untuk mengetahuinya. Masih terbayang dalam angan-angan Nick tentang kebersamaannya yang singkat bersama Arcey. Ingin rasanya dia berlama-lama dengan Arcey, tapi klakson mobil yang terdengar membuat Arcey menyudahi permainannya.

Nick menghela napas panjang, bukan salah Arcey kalau ia begitu membenci keluarga Wirajaya, bukan salah Arcey sehingga ia ingin membalaskan semua dendam keluarganya kepada keluarga Wirajaya. Keluarga Wirajaya yang membuat kakeknya harus pergi karena memikirkan utang menumpuk yang dananya dikorupsi oleh Ardi Wirajaya. Arcey hanyalah sebagai mediator untuk menumpahkan segala kekesalan yang menumpuk.

Project di Malang akan dilaksanakan bulan depan dan sampai hari ini Arcey belum juga mendapat tanda tangan Nick untuk pembatalan kontrak itu. Ia ingat, Nick akan memberikan tandatangannya jika ia berhasil menyalin buku 1000 halaman  dalam tulisan tangan. Arcey tidak menyerah, ia senantiasa tetap menuliskannya, meski 100 halaman pun belum tersentuh. Arcey tak putus asa. Demi bunda Nia dan teman-teman yang ada di panti, jangankan seribu, sepuluh ribu pun akan dilakukan agar mereka tetap memiliki tempat tinggal.

Hari ini Arcey tidak ingin bertengkar lagi masalah projectnya. Ia sudah tidak memiliki semangat lagi untuk meraih keinginannya. Pikirannya dikejar-kejar oleh hutang kepada Om Naro yang sudah dua kali lipat banyaknya, memikirkan panti tempat bunda Nia tinggal, memikirkan ayah yang masih butuh dana untuk berobat dan masih banyak hal lain yang mengganggu pikirannya. Nick menatap Arcey dari kejauhan. Nick melihat Arcey banyak melamun, hanya ia tak ingin bertanya. Ingin ia kembali mengakrabkan diri seperti waktu malam minggu kemarin, tapi rasa-rasanya hal itu tak mungkin dilakukan di kantor. Arcey sibuk dengan pikirannya sendiri dan ia membulatkan tekad untuk menjual rumah sederhana mereka.

Ayah dan ibu sedih berpisah dengan rumah sederhana mereka untuk tinggal di rumah kontrakan kecil. Tapi ayah dan ibu bisa mengerti kondisi mereka saat ini. Setelah hutang kepada Om Naro yang semakin menggunung lunas seharga setengah dari penjualan rumah sederhana mereka, Arcey mengontrakkan mereka rumah kecil sambil menata kembali hidup baru mereka. Nick tidak banyak berkomentar ketika mengetahui rumah sederhana Wirajaya di jual. Arcey masih tetap setia membayar hutang keluarganya dari gajinya. Ia juga minta izin kepada ayah dan ibu untuk mempergunakan sebagian penjualan rumah mereka untuk membantu bunda Nia yang disetujui oleh ayah dan ibu. Bunda Nia tak tahu harus berkata bagaimana menerima bantuan Arcey. Arcey pun menangis dan berkata ia tak tahu harus berjuang seperti apa lagi untuk mempertahankan panti. Bila memang harus dilebur biarlah dilebur.

Nick belum pernah melihat Arcey sesedih hari ini. Sesekali ia melihat apa yang sedang dikerjakan Arcey dan terkejut melihat Arcey masih menyalin buku 1000 halaman itu.
“Ehm,…” terdengar suara Nick mengagetkan Arcey.
“Ada apa, Nick?” tanya Arcey kaget.
“Kenapa sih kamu itu begitu ingin mempertahankan panti itu?” tanya Nick.
Arcey terdiam. Ingin rasanya ia menceritakan segalanya. Tapi ia sudah berjanji pada ayah dan ibu tidak memberi tahu asal usulnya. Arcey hanya tersenyum, lalu berkata : “kalau aku butuh uang 200 juta, apa kamu mau memberikannya padaku?”
“Hah? Untuk apa?” tanya Nick.
“Untuk aku…” jawab Arcey.
“Iya, tapi untuk apa?” tanya Nick lagi.
Arcey hanya tersenyum. Nick menyukai senyum Arcey. Ingin rasanya ia melihat Arcey tersenyum seperti itu.
“Tidak untuk apa-apa…hanya bertanya…” sahut Arcey lagi.

“Ibu harus menjalani pencangkokan sumsum tulang belakang secepat mungkin. Karena kalau tidak…..” dokter Annie tidak melanjutkan kata-katanya lagi. Arcey sudah mengerti dan tak perlu lebih mengerti lagi. Kalau dulu ia dilahirkan dengan kelahiran yang tak diharapkan, kini ia pun ingin pergi dengan tiada yang mengharap padanya. Arcey butuh 200 juta untuk menyembuhkan dirinya dari penyakitnya, namun, darimana ia mendapatkan uang itu? Teringat olehnya villa satu-satunya yang masih dimiliki oleh keluarga Wirajaya dan semua perhiasan yang dikumpulkan selama ia masih tinggal dalam dongeng indah. Ayah dan ibu ternyata masih menyimpan harta lain dalam bentuk deposito atas nama Arcey dan Arcey menjual seluruhnya, mencairkan depositonya dan memberikan uangnya pada Nick untuk melunasi seluruh hutangnya. Tidak ada lagi harta yang ditinggalkan, karena semuanya sudah lunas. Arcey tak ingin kepergiannya membebani ayah dan ibu. Arcey ingin ia pergi dengan damai dimana tak ada lagi beban hidup untuk ayah dan ibu.
Nick terkesima menerima pembayaran hutang Arcey. Yang lebih mengagetkan lagi, Arcey mengundurkan diri dari perusahaan Nick. Arcey ingin hari terakhirnya dihabiskan dengan kedamaian. Untuk sementara waktu, ayah dan ibu yang tidak mengetahui penyakit Arcey akan tinggal di Malang di panti penampungan yang baru. Waktu setahun telah habis. Arcey akan segera meninggalkan keluarga Ardhanawiga yang selama setahun ini menjadi keluarganya. Semua keluarga Ardhanawiga mau tidak mau harus mengakui kehilangan Arcey. Nenek adalah orang yang paling sedih berpisah dengan Arcey. Arcey memberikan kenang-kenangan pada semua penghuni rumah Ardhanawiga.

Arcey menyusun pakaian ayah dan ibu untuk di bawa ke Malang. Ia juga membelikan beberapa potong pakaian baru untuk ayah dan ibu.
“Cey….nggak usah buang-buang uang untuk semua ini, nak…” kata ibu.
“Tidak apa-apa, bu…” sahut Arcey.
“Nak, nanti buat hidup kamu di Jakarta apa?” tanya ayah.
“Arcey sudah persiapkan, yah…ayah tidak perlu khawatir….” sahut Arcey menenangkan.
Arcey menatap kepergian ayah dan ibu menuju panti tempat bunda Nia berada. Yang mengagetkan adalah berita dari bunda Nia yang mengatakan panti tidak jadi digusur karena proyeknya dibatalkan.

Arcey bahagia sekaligus penasaran. Tidak ada yang bisa membatalkan proyek itu kalau bukan Nick sendiri. Bergegas Arcey mengunjungi kantor Nick, tapi yang dilihatnya Elaire sedang marah tak menentu begitu juga Nick. Mereka bertengkar hebat dan sepertinya rencana pernikahan mereka akan tertunda. Kemudian, ia melihat Elaire berlari ke luar ruangan Nick dan Nick hanya berdiam diri. Arcey ingin secepat mungkin menghilang, tapi ia sudah terlanjur terlihat oleh Nick. Nick begitu senang dengan kedatangan Arcey tapi begitu heran melihat muka pucat Arcey.

“Kamu sakit, Cey…?” tanya Nick. Itulah pertama kali Nick memanggil namanya.
“Tidak…hmm, aku ke sini mau berterima kasih kamu telah membatalkan penggusuran panti di Malang, sekali lagi terima kasih” sahut Arcey pucat.
Nick tidak pernah melihat Arcey sepucat itu. Tapi belum lagi ia bicara, Arcey sudah minta diri untuk pergi. Ketika Nick bertanya dimana tempat tinggalnya, Arcey berbohong dengan berkata, ia masih tinggal di rumah kontrakan bersama dengan kedua orang tuanya.

Arcey dirawat di rumah sakit tempat dimana ia berencana untuk mengakhiri kisah dongengnya. Kini kebahagiaan mulai menunjukkan sinarnya. Segala beban hilang. Bunda Nia, ayah, ibu dan teman-temannya menangisi kepergian Arcey. Kepergian yang tidak pernah disangka-sangka. Kepergian yang membawa berbagai kenangan akan keriangan Arcey.

Nick tidak tahu mengapa malam itu ia ingin menghubungi Arcey, ia menatap pemberian Arcey yang terakhir yaitu sebuah aksesoris kaca yang bila di tekan tombolnya terdengar suara musik. Ia berada di rumah sakit tempat dokter Annie praktek saat Elaire kecelakaan karena Nick membatalkan pernikahan mereka. Di saat yang sama, dokter Annie yang tidak tahu menahu tentang perpisahan Nick dan Arcey, berkata : “Nick, yang sabar ya….” Nick mengira dokter Annie membicarakan Elaire.
“Iya, dok…padahal saya sudah bilang sama dia supaya tidak terlalu memikirkan pembatalan itu…” kata Nick.
“Saya malah bingung, Nick…kamu sekaya ini, masih saja Arcey bilang dia nggak punya biaya buat operasi…” sahut dokter Annie sambil geleng-geleng kepala.
“Maksud, dokter?” tanya Nick bingung.
“Iya, padahal saya sudah bilang sama Arcey, apalah arti 200 juta bagi Nick Ardhanawiga, dibandingkan semuanya…tapi ya sudahlah, semua sudah berlalu….biarlah ia tenang di surga….” kata-kata dokter Annie mengagetkan Nick.
“Maksud dokter bagaimana??” tanya Nick tak sabar.
“Loh?” giliran dokter Annie yang bingung.
“Tolong jelaskan sama saya, dok…” pinta Nick.
“Memang kamu tidak tahu?” tanya dokter Annie lagi.
“Tahu apa, dok? Bagaimana saya bisa tahu kalau dokter tidak memberitahu saya?” seru Nick lagi.
Dokter Annie jadi bingung, “saya pikir kamu tahu…”
Dokter Annie menjelaskan semuanya pada Nick dan mendadak Nick duduk terpaku dan membisu. Kini ia mengerti mengapa dulu Arcey pernah bertanya tentang uang 200 juta kepadanya, kini ia tahu mengapa wajah Arcey begitu pucat saat ia terakhir kali bertemu dengannya di kantor. Nick pergi meninggalkan rumah sakit meninggalkan dokter Annie yang kebingungan dan meninggalkan Elaire yang sedang di rawat. Ia tak perduli pada dokter Annie. Ia marah, mengapa dokter Annie tidak memberitahukannya. Ya, mungkin dokter Annie mengira ia telah mengetahui semuanya. Dan Arcey, Arcey tidak memberitahunya karena tahu Nick takkan peduli padanya. Dulu, waktu Arcey mau pinjam 10 juta saja, Nick tidak memberikan, apalagi 200 juta. Keluarga Ardhanawiga terutama nenek sangat shock mengetahui kejadian yang menimpa Arcey. Penyesalan selalu datang terlambat. Hanya karena dendam semata, Arcey yang tak bersalah menjadi korban dari ketidakadilan mereka.

Malam ini, kembali Nick memikirkan apa yang telah dilakukannya selama ini terhadap Arcey. Ingatannya kembali pada saat ia menolak project Arcey yang terlambat dimasukkan, padahal project Elaire yang datang sesudahnya diberi dispensasi. Teringat juga dengan gigihnya Arcey menunggunya sampai pulang, menunggu di lobi bahkan berdiri berjam-jam di luar ruang meeting untuk minta tanda tangannya yang tidak pernah digubris. Teringat pula setiap hari mereka ke kantor yang sama dan kembali ke rumah yang sama, tapi tidak pernah sekalipun pergi atau pulang bersama. Teringat ketika hujan dan waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, dimana ia dan Arcey masih berada di kantor. Nick menunggu Elaire dan pulang dengannya tanpa mempedulikan Arcey yang masih menunggu hujan berhenti di lobi. Ia melihat tatapan tulus di mata Arcey yang selalu tak dipedulikannya. Teringat ketika Arcey meminta pertolongannya dan ia dengan tak segan menolaknya, kemudian ketika Arcey yang karena hujan terlambat pulang ke rumah dan tidak diperbolehkan masuk dan ia harus menunggu di luar dengan hujan lebat, basah kuyup sampai pagi, Arcey yang tidur di gudang dan kemudian di samping kamar pembantu dengan beralaskan koran bekas, Arcey yang turut memberi ide untuk acara pernikahannya dengan Elaire setelah masa satu tahun mereka berakhir, tentang menyalin buku 1000 halaman untuk mendapatkan tanda tangannya yang tidak juga diberikan sampai hari ini dan berbagai kejadian lainnya.
Minggu ini Nick menatap nisan Arcey. Terlihat jelas wajah Arcey dalam bayangannya. Ia telah menyia-nyiakan Arcey yang telah begitu baik padanya. Kini, Nick mengerti mengapa Arcey begitu amat berjuang mempertahankan panti. Panti tempatnya bernaung semasa kecil.

Dalam ruang kerja, Nick menatap lembaran kertas yang ditulis tangan oleh Arcey. Lembaran kertas untuk menyalin buku 1000 halaman yang belum diselesaikan. Di usapnya lembaran kertas tersebut. Ditatapnya berbagai bentuk aksesoris pilihan Arcey untuk pernikahannya dengan Elaire. Elaire yang sakit hati karena Nick membatalkan pernikahannya, dibawa keluarganya menetap di Amerika. Tidak ada kisah lain yang dapat menghapuskan kesedihan di hati Nick. Menyesal pun tiada berguna. Kini ia hanya berdoa, semoga Arcey mendapatkan tempat terindah di surga sana.

“Ketika sang putri bertemu dengan pangeran pujaan hatinya, hiduplah mereka bahagia selamanya….”


                                                                                       Jakarta, 9 Februari 2012

Tuesday, February 28, 2012

cerpen - jika waktu enggan menyapa - created by Me...:)

Sebagai seorang yang sangat menyukai dunia tulis menulis, saia mau share cerpen yang saia buat.  Kalau ingat dulu waktu jaman SMP, buat novel, komik, majalah dsb...pokoke banyak deh...dan beberapa masih disimpan sampai sekarang, sisanya udah ga tau kemana....
berhubung liat2 file, kira-kira apa lagi yah yang mau di share di blog ini, maka saia seperti biasa lihat email-email lama, trus kemudian berpikir, :"eh, kan gw punya beberapa cerpen di my data, gimana kalo gw share aja nih cerpen gw??" akhirnya saia coba deh nerbitin nih cerpen di blog ini, besok saia kasih lagi cerpen lain...
selamat membaca....


-------------------------------------------------------------------------


“Haii Kika….kuliah dimana lo??” Echa datang mengagetkan.
“Surprise dong!!” sahut Kika sambil tersenyum santai.
“Yee, pelitttt!!!” Echa menjulurkan lidahnya.
“Biar!!!” sahut Kika sambil berlalu pergi meninggalkan Echa yang masih mencak-mencak.

Kika berjalan menyusuri gerbang sekolah setelah acara perpisahan dengan teman-teman sekolah. Kalau membayangkan Echa sahabatnya dari SMP itu mengajukan pertanyaan tadi, membuat Kika senyam senyum sendiri. Maklumlah, Kika mau memberi kejutan ke Echa, Leon, Andi dan Mei-mei serta keluarganya karena ia sudah lulus masuk ke fakultas kedokteran di kotanya, Kika juga ingin memberitahukan ayah, ibu, kakek, nenek dan Kinda adiknya yang baru berusia 7 tahun.
                                    
Kika bersiul-siul memasuki halaman rumahnya, dan hampir saja Kika menabrak pintu, tatkala ia mendengar suara dari dalam rumah : “Bagaimana ini, yah? Bagaimana kita bisa menyampaikan kepada Kika kalau dia tidak bisa kuliah dulu, bagaimana kita bisa mengatakan kepadanya kalau ayah sudah tidak bekerja lagi?” suara ibu dari dalam rumah membuat Kika lemas dan seakan-akan tempatnya bertumpu terbelah menjadi dua bagian, suara yang membuat cita-citanya kandas, suara yang menghancurkan angan dan impiannya, suara yang membuatnya mengambil keputusan, keputusan yang akan disesalinya seumur hidupnya, keputusan yang akan merubah hidupnya, keputusan yang akan menjadikannya seorang pelarian, keputusan yang akan membuatnya dipermainkan oleh waktu  dimana waktu dan keadaan tidak mau berkompromi dengannya…

Kika tidak diketemukan sejak hari perpisahan sekolah, sudah dua bulan berlalu, namun tidak ada juga kabar dari Kika. Kika seperti hilang di telan bumi, tiada kabar berita maupun tanda-tanda akan keberadaan Kika. Echa yang terakhir kali melihat Kika pun benar-benar berharap kalau kejutan yang akan ditunjukkan Kika bukanlah kepergiannya yang tiba-tiba entah kemana. Dulu, mereka berlima selalu bersama Kika, Echa, Leon, Andi dan Mei-mei. Dan di belahan kota lain, Kika sedang menyusun rencana masa depannya, ia bertemu dengan keluarga Widja yang memberi tempat bernaung pada saat Kika kebingungan di stasiun tak tentu arah. Kebetulan bapak dan ibu Widja ini baru saja mengantar sanak saudara mereka ke stasiun setelah acara pernikahan putra tunggal mereka. Bapak dan ibu Widja sangat senang ketika Kika mau tinggal di rumah mereka. Kika mengaku bahwa dia anak panti asuhan yang terpaksa keluar panti karena anak seusianya harus mandiri, dan itu tandanya dia harus keluar dari panti. “Siapa namamu, Nak?” tanya Ibu Zesa Widja dengan ramah.
“Kinanti, bu” Kika menjawab sambil berkata dalam hati, ‘tiada lagi Kirana yang ada hanya Kinanti’
“Oh, nama yang bagus sekali, nak” ibu Widja berkata tulus
“Terima kasih bu”, jawab Kika.

Bapak dan ibu Widja memperlakukan Kika seperti anaknya sendiri, maklumlah mereka hanya memiliki seorang anak tunggal yang kini tinggal di Belanda. Jadi, kehadiran Kika di rumah mereka disambut dengan baik sekali. Kika kuliah di kedokteran sebuah perguruan tinggi terbaik dan mendapat nilai yang sangat baik sekali. Kika lulus dengan membanggakan, dan Kika sangat bangga akan pencapaiannya. Seketika ia terlupa akan dirinya, akan keluarganya, akan teman-temannya yang selalu mengharapkan kedatangannya.

Hari ini adalah hari pertama Kika bekerja sebagai spesialis internis di Rumah Sakit milik keluarga Widja, Kika merangkap sebagai Direktur Rumah Sakit. Acara penyambutan Dokter Kinanti Zesa Widja (nama yang digunakan sejak diangkat menjadi anak oleh keluarga Widja). Di kota lain, seorang nenek yang selalu menjaga Kika sejak kecil terkapar tak berdaya, hanya tinggal para tetangga yang menaruh belas kasihan kepada nenek Kika. Di Jakarta, orang tua dan adik Kika terpisah pada saat pencarian Kika, dimana orang tuanya sekarang menjadi penghuni wisma penampungan khusus orang-orang yang tidak memiliki rumah, sedangkan adiknya menjadi kuli bangunan di sebuah proyek jembatan layang. Di tempat lain, empat sahabat Kika sibuk dengan kehidupan masing-masing. Echa sedang mengambil program S2 bidang pendidikan ke Jepang, Leon seorang arsitek yang diberi tugas untuk membangun hotel mewah Aros Group, salah satu grup konglomerasi terkenal yang memiliki banyak lini usaha, Andi berhasil mencapai cita-cita menjadi seorang aktor dan Mei-mei tinggal di tanah kelahiran untuk melanjutkan usaha orangtuanya yaitu pabrik kapur.

“Dokter Kinanti…”Nanda sekretarisnya memanggil.
“Ada apa, Nanda ?”, tanya Kika
“Begini dok, masalah pembangunan rumah sakit kita yang bekerja sama dengan Aros Group apakah perlu kita pakai kontraktor yang digunakan oleh Aros?” tanya Nanda.
“Hmm, boleh…saya dengar kontraktornya itu punya arsitek terbaik di negeri ini, kita bisa memakai jasa mereka”, Kika menjawab sambil matanya terus memandang status pasien.
“Baik, dok....” Nanda mengakhiri pembicaraan mereka.

Kinda mengusap peluh akibat keringat yang mengucur deras karena terpanggang sinar matahari siang yang terik. Duduk terpekur di bawah konstruksi jembatan layang yang kini tengah dikerjakannya dengan teman-teman yang lain. Di kejauhan dari tempat ia duduk, pandangannya melayang ke konstruksi bangunan mewah yang terbentang di depannya. Konstruksi sebuah hotel mewah milik grup terkenal di negerinya. Rasa lapar dan haus tak menghalanginya untuk tetap mengagumi, betapa indah dan megahnya konstruksi hotel tersebut. Sesekali raut kesedihan muncul di wajahnya yang hitam dan lesu. Teringat olehnya orangtuanya yang kini entah berada dimana dan nenek yang sakit-sakitan. Terlintas kakaknya yang telah lama menghilang, yang memaksanya untuk kuat seperti sekarang ini. Kembali bayangannya tersapu oleh kenangan sang kakak yang selalu membawakan permen berwarna tiga kepadanya. Waktu itu ia baru berusia 7 tahun dan kakaknya 17 tahun, dan kini, sudah 10 tahun lewat sejak terakhir kali sang kakak memberikan permen tiga warna itu. Dulu Kinda tidak pernah tahu alasan apa yang membuat kakaknya pergi dan sekarang pun tidak. Teringat ketika itu, ia membeli permen tiga warna dua buah untuk sang kakak yang lulus ujian dengan hasil yang baik. Kinda menunggu sang kakak hingga fajar kembali ke ufuk barat, sang kakak tidak juga muncul. Kinda tertidur di dekat pintu sambil terus memegang permen tiga warna yang akan diberikan kepada sang kakak. Permen yang lumer tersengat panas, permen yang tidak pernah sampai kepada sang kakak. Sekali lagi Kinda menghela napas. Sesekali teringat olehnya ucapan sang kakak, “Kinda…nanti kalau sudah besar mau jadi apa?”
“Kakak mau jadi apa memangnya?” tanyanya waktu dulu.
“Kakak mau jadi dokter…” sahut Kika
“Kalau kakak jadi dokter, Kinda jadi pemain sepak bola deh…” sahut Kinda
“Kenapa begitu?” tanya Kika lagi
“Karena kalau Kinda sakit, Kinda bisa datang sama kakak, terus kalau kakak lagi bosan bisa lihat pertandingannya Kinda, kalau kita sama-sama dokter, kalau ada yang bosan, ga ada yang bisa menghibur” sahutnya polos.

Teringat senyum kakaknya yang selalu mendamaikan hatinya. Seketika Kinda kembali larut dalam kesedihan bila mengingatnya. Selalu dirindukannya kakaknya tercinta yang selalu menghibur dirinya. “Kakak, sekarang kakak dimana?? Apa kakak sudah jadi dokter? Tapi Kinda sekarang tidak jadi pemain sepak bola kak, biarlah kakak berhasil menjadi seorang dokter dan Kinda tidak menjadi pemain sepak bola, asalkan kakak kembali seperti dulu” Kinda berharap dalam hati. Wuuuuzzzzzz seketika asap kendaraan yang baru saja melaju menyelubungi wajahnya, membuat Kinda terbatuk, selintas dilihatnya sebuah mobil mewah keluaran baru melintas di depannya dengan seorang wanita terpelajar duduk di belakang kemudi. Sinar matanya seperti begitu dikenali, tapi tak sempat Kinda berpikir, panggilan kerja mengharuskannya untuk kembali konsentrasi menyelesaikan pekerjaannya.

Kika menyusuri jalanan yang panas terik dengan mobil terbarunya. Kika sedang menuju kantor kontraktor yang katanya memiliki arsitek yang bagus. Tak disadarinya, mobilnya yang melaju kencang itu menimbulkan asap yang tertinggal pada seorang kuli bangunan yang sedang merenung. Sesampainya di gerbang yang menghantarkannya ke sebuah gedung mewah milik kontraktor March, Kika langsung terkagum-kagum. Arsitekturnya sungguh mengagumkan. Pantaslah grup besar sekelas Aros menggunakan jasa si kontraktor March. Kebetulan hari itu, pemilik March sedang ada di tempat. Bpk Irwan March adalah seorang bapak yang berkharisma. Pertama kali melihatnya Kika jadi teringat ayah, tapi segera dilupakannya. Perbincangan pun berlanjut untuk kerjasama mereka.
“Wah, terima kasih ibu Kinanti atas kepercayaan ibu kepada kami” terdengar suara berat Irwan March”
Ssama-sama , Pak”, sahut Kika sekenanya.
“Sayang sekali, arsitek saya sedang keluar, jadi nanti saja saya bisa kenalkan pada ibu” jawab Irwan lagi.
Bbaik, Pak…semua saya serahkan kepada Bapak seperti yang saya inginkan tadi. Bapak silakan berkoordinasi dengan arsitek bapak dan Nanda, sekretaris saya…jadi bila ada hal-hal yang dirasa perlu, bapak bisa menghubungi Nanda saja” Kika berkata sambil berdiri hendak beranjak.
“Terima kasih bu” sahut Irwan ramah.

Kembali sosok Irwan March hadir dalam bayangan Kika. Tapi segera ditepisnya bayangan itu. Kika menggeram ketika ia begitu amat menyukai kharisma seorang Irwan March. “Sepertinya umurnya tidak beda jauh dari ayah, tapi Pak Irwan sungguh berbeda” begitu piker Kika. Kika berhasil menguasai dirinya dengan menepis jauh-jauh bayangan Pak Irwan.

“Leon!!” Pak Irwan memanggil anak buahnya
“Iya, Pak…” sahut Leon
“Tadi siang, Dokter Kinanti Zesa Widja datang ke sini untuk bekerja sama dengan kita membangun proyek rumah sakit besar. Dia ingin kamu yang menjadi arsiteknya” seru Pak Irwan tak sanggup menyembunyikan kegembiraannya.
“Dokter Kinanti Zesa Widja?” tanya Leon
“Iya, kenapa? Kamu kenal” tanya Pak Irwan lagi.
“Oh, tidak, Pak…hanya belum pernah dengar saja” sahut Leon sekenanya.
“Dia itu putri dari Pak Widja dan Ibu Zesa Widja, Leon..pemilik Rumah Sakit Widja Family, yang anak sulungnya itu juga dokter ahli syaraf yang sekarang tinggal di Belanda…” Pak Irwan menjelaskan.
“Hmmm…” Leon bergumam
“Nanti kamu berurusan dengan Nanda sekretaris Dokter Kinanti, jadi segala sesuatu harus kamu koordinasikan dengan Nanda..” Pak Irwan mengakhiri pembicaraan.
“Baik, Pak” sahut Leon

Echa membuka-buka album lama. Terlihat olehnya 5 sekawan berfoto dengan pose-pose mereka yang membuat Echa tersenyum-senyum sendiri sekaligus sedih. Terpampang foto waktu mereka ber-5 ikut barisan pencinta alam dimana mereka menorehkan nama masing-masing di sebatang pohon. Tertawa-tawa sendiri mengingat kejadian lucu di antara mereka. Kirana Kasih yang sebenarnya memiliki nama panggilan Rana yang akhirnya punya panggilan kesayangan Kika. Teman-temannya suka mengejek : “kika…kiri…kanan…kika…kiri…kanan….” Dimana Echa selalu jadi pembela terbaik bagi Kika. Meissha yang akrab di panggil Echa merupakan pembela saat Kika dijahili teman-temannya. Panggilan Echa itu ada ceritanya. Itu juga karena ada dua nama Meissha di geng mereka, satu Meissha Irena yang dipanggil Echa dan Meissha Quany yang harus dengan tabah menerima dipanggil dengan sebutan Mei-mei. Echa senyum sendiri ketika membayangkan Mei-mei dipanggil bukan dengan namanya. Mukanya berubah menjadi seperti kerucut, begitu kata Andi bila ingin menjahili Mei-mei. Leon yang memiliki nama Leonardi dan Andi yang suka menyebut dirinya sendiri Andi the hero. Ahh, sesekali Echa mengusap album kenangan itu, album yang dibawanya serta ke Jepang.

Dulu mereka punya impian akan kuliah di kota yang sama. Kalau perlu di universitas yang sama biar berbeda jurusan. Kika yang pintar ingin menjadi seorang dokter biarpun keluarganya bukan orang yang mampu. Tapi, Echa yakin kemampuan Kika akan membuatnya mendapatkan beasiswa. Echa, yang merasa terpanggil menjadi seorang guru memang bercita-cita untuk menjadi guru terbaik yang memecahkan banyak misteri yang selalu menjadi tanda tanya selama sekolah dulu. Leon yang pintar matematika dan gambar, ingin jadi seorang arsitek seperti ayahnya yang entah sekarang ada dimana. Andi, yang hobinya menonton film dibandingkan belajar meskipun ujian di depan mata selalu merasa dirinya tidak berbakat di bidang akademik. Andi tidak membenci sekolah, hanya baginya sekolah itu bukanlah tujuan hidupnya. Jadi, selesai SMA, Andi lebih banyak ikut kasting film yang menghantarkan dia menjadi seorang pemain film. Memang belum sukses untuk mendapat peran utama, tapi yang pasti jam terbangnya di dunia perfilman meski jadi pemeran pendukung, bisa diperhitungkan. Echa berusaha terus-terusan memaksa Andi agar kuliah. Andi enggan. Bahkan, biar Echa sendiri janji yang akan mengajarnya menjadi orang yang lebih terdidik, dengar ucapan Andi..”Echa, gw ini emang udah diciptain dari sononya tuh kaga niat sekolah, mau lo yang ngajar atau professor paling jenius sekalipun, ga akan bikin otak dodol gw ini kayak lo lo pada….udah lah cha, lo semua pada pinter, lo semua berhasil mendapatkan apa yang lo mau…biarin gw juga ngedapetin apa yang gw mau…masa depan gw bukan ditentukan seberapa tinggi gw sekolah cha…tapi seberapa jauh gw berusaha untuk menggapai impian gw….” Echa hanya menghela napas.

Heran dia sama temannya yang satu ini, paling nggak bisa dibilangin kalau udah menyangkut sekolah. Tapi, biar Andi malas-malasan begitu, nggak pernah sekalipun dia menyontek. Itulah yang membuat Echa kagum pada Andi. Mei-mei lain lagi ceritanya. Kebetulan Mei-mei ini bisa dibilang anak bungsu di geng mereka, dikarenakan dia yang paling terakhir lahir, alias paling muda. Mei-mei masuk sekolah umur 5 tahun karena orang tuanya sibuk mengurus pabrik. Daripada Mei-mei main-main tak menentu lebih baiklah kalau dia sekolah. Sebenarnya, Mei-mei punya cita-cita menjadi seorang pemain harpa, sesuatu yang ditentang keras oleh keluarganya. Mei-mei anak ke 12 dan satu-satunya putri tercantik di keluarganya. Semua kakak laki-lakinya sangat sayang pada Mei-mei. Ketika semua kakaknya menikah dan tinggal Mei-mei sendiri yang tinggal di rumah, maka Mei-mei tidak melanjutkan kuliah. Dia ambil kursus komputer dan bekerja melanjutkan usaha orangtuanya. Echa tahu, Mei-mei sangat ingin kuliah di jurusan seni, tapi usaha keluarga harus ada yang meneruskan. Setidaknya, Mei-mei masih punya pegangan hidup bila nanti orangtuanya meninggalkan dia. Mei-mei pun tak tega melihat orangtuanya yang sudah sakit-sakitan. Dan sekarang Mei-mei telah menikah dengan Bara pujaan hatinya dan memiliki sepasang bayi kembar Barney dan Barley.

Kembali Echa mengelus sampul album itu. Memeluk album ini semakin membuat Echa sadar, persahabatan mereka sangat berarti. Persahabatan yang selalu diisi dengan keceriaan semata. Hari ini, daun-daun mulai menampakkan wajah cantiknya. Sebentar lagi musim semi, yang artinya sebentar lagi Echa akan kembali ke negaranya tercinta. Kembali ke kota kelahirannya, kembali mengenang masa-masa yang telah lalu. Sampai saat ini, persahabatan Echa, Leon, Andi dan Mei-mei masih terus berlanjut. Saling mendukung satu dengan yang lain. Pikiran Echa kembali melayang saat perpisahan SMA dulu, saat terakhir kali ia melihat Kika, saat terakhir kali Kika mengucapkan akan memberi kejutan kepada Echa, kejutan yang sampai saat ini Echa berpikir kalau kejutan itu adalah kejutan untuk pergi meninggalkan mereka tanpa memberi kabar berita. “Kika…dimanapun lo berada, gw harap lo bisa mencapai cita-cita lo” tak sadar Echa berucap sambil memeluk album persahabatan mereka.

Leon pergi sebentar ke rumah sakit untuk menemui Nanda, mengkoordinasikan apa-apa saja yang perlu dan harus dikerjakan untuk proyek mereka. “Nanda!!” terdengar seruan Kika.
“Iya, Dokter” sahut Nanda.
“Tolong kamu urus semua tentang proyek pembangunan rumah sakit kita, jangan ada satupun yang terlewati” tegas suara Kika terdengar.
“Baik, Dok…oh, iya dok, tadi arsitek dari March datang dan…..” belum selesai Nanda bicara langsung dipotong “iya, kamu urus dan koordinasikan dengan si arsitek itu dan jangan ada satupun yang terlewati” Kika berjalan meninggalkan Nanda yang terkesima.

Tak lama, muncullah Leon, “Mbak Nanda, tadi yang lewat itu siapa?” tanya Leon.
“Itu yang namanya Dokter Kinanti Zesa Widja, anaknya pemilik rumah sakit ini” seru Nanda berbisik.
“Hmm, sepertinya Dokter Kinanti itu adalah orang yang teramat serius ya” Leon berusaha mencairkan ketegangan yang ditimbulkan oleh sikap Nanda yang berlebihan.
“Dokter Kinanti itu sebenarnya baik, baik sekali, tapi entah kenapa wajahnya selalu murung bila sedang sendiri, dan dia bisa sangat amat tegas bila ada orang yang mencampuri urusan pribadinya” bisik Nanda lagi.
“Oh, begitu” sahut Leon sekenanya.

Sebenarnya Leon begitu tertarik mendengar cerita Nanda, tapi dia juga tidak ingin Nanda berpikir dirinya ingin tahu urusan orang lain. Sayangnya, Leon tidak sempat bertegur sapa dengan Dokter Kinanti. Yah, mungkin kali lain…tapi ada suatu perasaan lain merasuki Leon sekembalinya dari rumah sakit. Di rumah, Leon kembali membayangkan sikap Dokter Kinanti. Leon memang tidak melihat wajahnya yang tertutup partisi tinggi ruangan Nanda, tapi dari kejauhan dia bisa merasakan sikap tegas dari Dokter Kinanti. Entah mengapa, tiba-tiba Leon jadi teringat pada Kika. Pada sikap tegas Kika, pada semua yang ada pada Kika. Tapi Dokter Kinanti bukan Kika, bukan Kika yang hanya dari keluarga tak mampu yang tidak akan sanggup membiayai kuliah Kika di kedokteran. Jangankan kedokteran, kuliah sekalipun belum tentu mampu. Beruntungnya Dokter Kinanti…dimana Kika sekarang? Seandainya mereka bertemu suatu saat nanti, apakah Kika telah berhasil mencapai impiannya? Tak lama Leon tertidur dalam bayangannya. Mimpi masa sekolah menghiasi malamnya. Tersenyum dan tersenyum. Waktu telah mempertemukan mereka tanpa saling menyadari. Memang takkan pernah tersadari dan akan tetap menjadi rahasia alam yang takkan pernah terbuka. Karena waktu yang memisahkan mereka pada kedalaman yang tak tersebrangi dan waktu pula yang enggan mempertemukan mereka kembali.

Malam ini ada acara gala premier film “Mutiara Hati”. Sebenarnya Kinanti malas menontonnya kalau saja Bapak dan Ibu Widja tidak memohon dengan sangat untuk datang atas undangan sang produser yang merupakan kolega mereka karena Bapak dan Ibu Widja berhalangan datang. Setelah berbasa-basi dengan produser, Kinanti duduk di tempat yang telah disediakan. Dalam gala premier itu, para tokoh utama dan pemain pendukung datang meramaikan promosi perdana mereka. Dengan malas-malasan Kinanti melihat ke layar besar itu. Tertulis tokoh utama, Raka San dan Saccy Khan. Pemain pendukung : Nindy Muya, Sandro Aris dan Kelam Hero. Kinanti tertawa kecil waktu membaca nama pemain terakhir, Kelam Hero…nama yang unik sekali, pasti bukan nama asli, pikir Kinanti. Kinanti tidak begitu berkonsentrasi menonton film, karena sudah 10 tahun ini dia sangat membenci film. Benci dengan drama kehidupan palsu yang dibangun oleh berbagai sineas. Benci melihat kebahagiaan yang tergambar di sana. Tapi kali ini, entah mengapa, biar pun Kinanti tidak begitu berkonsentrasi, rasa penasaran akan si Kelam Hero membuat dia betah menunggu sampai film selesai.

Tapi, tepat beberapa saat setelah film berhenti, dering telepon mengurungkan niat Kinanti untuk berkenalan dengan si Kelam Hero. Dengan meminta maaf, Kinanti buru-buru pamit kepada Bapak Produser karena ada panggilan mendadak dari rumah sakit. Belum ada sepuluh menit Kinanti keluar, para pemain menyampaikan rasa terima kasih kepada orang-orang yang dianggap mereka berjasa pada karir mereka. Setelah satu-satu pemain itu berbicara, tibalah giliran Kelam Hero untuk berbicara : “Terima kasih kepada Tuhan, keluarga dan juga para manajemen film karena memberikan saya kesempatan untuk dapat bermain di film ini, saya juga menyampaikan terima kasih saya kepada sahabat-sahabat saya dimanapun mereka berada”.

“Mas Kelam Hero, boleh tau ga, kenapa pakai nama samaran itu?” tanya seorang penonton.
“Sebenarnya, nama itu adalah singkatan dari 5 sekawan, sahabat-sahabat saya yang selalu mendukung saya, teman-teman yang selalu ada di hati saya, KELAM itu adalah Kika, Echa, Leon, Andi dan Mei-mei…dan Hero adalah sebutan masa kecil saya, Andi the Hero…” air muka Andi seketika berubah ketika mengucapkan kata-kata itu. Terlihat dia sangat begitu merindukan teman-temannya hadir di saat itu.

Seketika suasana hening, tapi Andi mampu mencairkan suasana dengan memberikan lelucon-lelucon lucu yang membuat hadirin tertawa.

Malam ini dengan terburu-buru Kinanti datang ke rumah sakit, sepasang bayi kembar mengalami sesak nafas dan dia harus cepat-cepat menolong bayi-bayi itu. Untungnya, Kinanti datang tepat waktu sehingga kedua bayi tersebut dapat diselamatkan. Kinanti tersenyum melihat kedua bayi yang sekarang sedang tertidur lelap dan sudah boleh dibawa pulang. Tidak berapa lama kemudian setelah memastikan segala sesuatunya baik adanya, Kinanti pulang ke rumah.

“Terima kasih, sus” seru ayah dan ibu bayi itu.
“Jangan terima kasih sama saya, Pak, Bu…” seru Suster Ria tersenyum
“Dokter siapa yang menolong bayi kembar kami, sus?” tanya ayah bayi itu.
“Namanya Dokter Kinanti Widja” seru Suster Ria lagi.
“Boleh kami bertemu dengan Dokter Kinanti” tanya ibu bayi itu.
“Dokter Kinanti sudah pulang, bu” jawab Suster Ria.
“Oh, kalau begitu sampaikan terima kasih kami kepada Dokter Kinanti ya, sus” seru sang ayah.
“Baik, Pak, Bu” jawab Suster Ria lagi.

Mei-mei dan Bara membawa kedua bayi kembar mereka langsung ke rumah kerabat mereka di Jakarta untuk kembali membawanya ke Jogja esok hari. Sebelum meninggalkan rumah sakit, Mei-mei dan Bara mengirimkan surat kecil untuk Dokter Kinanti.

“Terima kasih Dokter Kinanti yang cantik dan baik hati, kapan-kapan main ke rumah kami ya…Salam…Barney dan Barley…dua baby yang Dokter cantik selamatkan” Kinanti tersenyum sambil kembali melipat surat kecil tersebut dan meletakkannya di laci meja kerjanya. Kinanti beranjak pergi tanpa melihat ada foto di dalam sampul surat itu, foto sepasang bayi kembar dan orang tuanya, serta tulisan  di balik foto “our lovely  Barney and Barley….Bara dan Meissha – untuk Dokter Kinanti yang baik hati”.  Saat ini pun waktu seperti enggan untuk mempertemukan mereka.

Di panti penampungan tunawisma, orang tua Kika tidak melakukan banyak aktivitas, dikarenakan usia mereka yang sudah tua dan penantian yang tiada berujung. Ayah lebih banyak diam di kursi goyang sambil menatap ke jendela. Ibu lebih sedikit aktif, masih mencoba untuk membaca majalah-majalah lama atau kadang-kadang melamun sehingga terlihat matanya yang kosong menatap ke depan. Mau kembali ke Jogja tidak ada biaya, teringat kakek dan nenek di sana. Memikirkan Kika yang entah dimana keberadaannya dan juga Kinda yang terpisah sejak mereka pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta.

Dunia dan waktu adalah sesuatu yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Dunia akan selalu ada bila waktu masih terus berjalan, dan waktu akan terus berjalan selagi dunia masih ada. Satu kejadian banyak cerita. Satu benang merah berbagai kesimpulan.

Kakek dan nenek Kika di kampung halaman membawa segala rindu dan penantian ke rumah Bapa di Surga. Ayah dan Ibu yang juga kembali ke Jogja setelah bertemu kembali dengan Kinda membawa sejuta penantian yang tak kunjung tiba sampai akhir hayatnya. Kinda, yang menjadi seorang kepala operasi sebuah perusahaan kontraktor yang memiliki proyek membangun lapangan sepak bola di Jogja, akhirnya bisa menjadi pemain sepak bola meski hanya sesekali tampil sambil menjaga ayah dan ibu yang mulai dihalusinasi oleh berbagai bayangan tak masuk akal. Masih sesekali terlintas dalam pikirannya seorang wanita terpelajar yang duduk di balik kemudi yang meninggalkan asap ke wajahnya yang terpanggang matahari yang memancarkan sinar mata yang pernah dikenalnya.

Echa, seorang Guru Besar salah satu universitas bergengsi yang masih dan selalu tetap memaksa Andi untuk sekolah, biarpun yang empunya selalu menolak. Leon, yang setelah merampungkan proyek rumah sakit Widja Family, mengundurkan diri dari March dan membangun usahanya sendiri tanpa mengetahui bahwa proyek terakhirnya adalah proyek yang seharusnya mempertemukannya dengan sahabatnya. Andi, yang meskipun belum mencapai impiannya menjadi tokoh utama, termasuk salah satu bintang yang populer saat ini, tidak akan pernah mengetahui bahwa sahabatnya menonton gala premier film paling laris tahun ini dan Mei-mei yang bahagia dengan keluarga kecilnya, tanpa pernah tahu bahwa sahabatnya yang menolong kedua bayinya.

Keluarga Widja, ayah, ibu dan Cavin Widja….keluarga baruku, pelindungku, mengangkat dan membimbing aku, memoles kehidupanku dari kerikil menjadi berlian, menjadikan diriku permata di hati kalian, kalian adalah sinar hidupku, sinarku yang redup dan kembali menyala karena obor kasih yang diberikan untukku….-Kinanti Zesa Widja-

Dokter Darren de Scholff Aros, dosenku, penyemangat hidupku, pilihanku…jangan pernah bertanya mengapa aku memilihmu, karena aku pun tak tahu…aku tak memiliki jawaban untuk pertanyaan itu….tidak semua pertanyaan harus memiliki jawaban begitupun dengan pilihan, karena tidak semua pilihan memiliki alasan …. -Kinanti Zesa Widja-

Dokter Kinanti Zesa Widja menetap di Belanda bersama kakak angkatnya, anak dari Bapak dan Ibu Widja setelah dia menikah dengan seorang Dokter Radiologi yang dulu pernah menjadi dosennya. Tidak ada yang mengetahui apa alasan Kinanti menerima Dokter berkebangsaan Belanda yang sudah berusia 55 tahun tersebut yang juga merupakan pewaris tahta kerajaan Aros Group. Keberangkatan Kinanti ke Belanda merupakan titik akhir dari segala kisah hidupnya. Sampai akhir menutup mata, tidak ada lagi kesempatan untuk menjenguk segala kenangan yang ditinggalkannya dan tetap menjadi cerita penantian tanpa akhir di tanah air tercinta.

Nanda merapikan meja kerja Dokter Kinanti sepeninggalnya ke Belanda. Dilihatnya amplop yang di dalamnya terdapat foto Barney dan Barley. Nanda tersenyum dan bergegas meletakkan kembali foto itu ke tempatnya, foto yang tetap tersimpan rapi selamanya, karena Nanda lah orang terakhir yang melihatnya sebelum rumah sakit itu dilebur menjadi gedung perkantoran Aros Group. Di situ pulalah lebur catatan hati Kika yang disimpannya sebelum dia berangkat ke Belanda, catatan yang tidak penah tersampaikan :
Bila dapat waktu kuputar, akan kuputar…akan kucari jalan terbaik tanpa harus mengorbankan cita-cita dan kebahagiaanku akan sahabat-sahabatku. Kakek dan nenek, maaf bila Kika mengecewakan kakek dan nenek, Kika berharap kakek dan nenek memaafkan Kika, kakek dan nenek akan selalu ada di hati Kika…ayah dan ibu…maaf kan Kika karena pergi tidak bilang-bilang, tapi Kika harap, ayah dan ibu mengerti di kejauhan sana, karena Kika ingin menggapai impian Kika, maafkan Kika yang tidak bisa mengerti kondisi keluarga kita dulu, maafkan Kika yang terlalu emosi meninggalkan ayah dan ibu pada saat ayah dan ibu membutuhkan dukungan dari Kika…maafkan Kika ayah..ibu…Kinda adikku sayang, maafin kakak ya tidak bisa lagi membelikan permen tiga warna pada Kinda, sekarang Kinda sudah besar kan? Apa masih suka permen tiga warna? kakak selalu berharap Kinda bisa menjadi pemain sepak bola. Waktu itu Kinda kan bilang, kalau kakak jadi dokter dan sedang bosan, kakak akan datang melihat pertandingan bola Kinda, tapi mengapa saat kakak bosan Kinda tidak mengundang kakak menonton pertandingan sepak bola Kinda? Apa Kinda marah karena kakak tidak pulang-pulang? Apapun yang terjadi, Kinda harus tetap menggapai impian Kinda…tapi jangan sampai seperti kakak, menggapai impian dengan meninggalkan orang-orang tercinta tanpa kabar…kakak tidak bisa memberi kabar karena ada alasan yang tidak bisa kakak ungkapkan, dan biarlah itu menjadi rahasia besar kakak…

Echa, pembelaku, sahabatku…jadilah guru terbaik di negeri ini, cha…maafkan aku tidak menyempatkan memenuhi kejutan yang aku katakan pada saat terakhir kali kita bertemu. Kita masuk universitas yang sama, cha…tapi aku tidak bisa kuliah karena ketidakmampuan orangtuaku…maafkan aku, cha…jika aku tahu aku akan pergi jauh, pastinya akan kuberitahu kejutan itu…

Leon, sahabatku yang pintar..ingatkah Leon, dulu kamu suka menggambar karikatur kita berlima. Tentu saja Echa yang selalu sering protes, karena menurut dia karikaturnya kegemukan,,,,hahhaha…kangen rasanya Eon….kangen rasanya melihat karikatur itu lagi, sayangnya kutinggalkan itu semua di rumah, semoga Kinda selalu menyimpannya ya…Kinda sangat suka karikaturnya…terima kasih kamu telah menjadi bagian dari kehidupan indahku, kehidupan bersama sahabat-sahabat yang lain…aku ingin mendengar namamu menjadi arsitek terkenal, nanti kamu bangun rumahku ya?

Andi, temanku yang gembullllllllll….gimana jadi aktor kah kamu sekarang? Eh iya Ndi, beberapa saat yang lalu aku nonton gala premier, ada namanya Kelam Hero….aku tersenyum sendiri, kata “Hero” mengingatkan aku akan Andi the Hero temanku yang baik hati…tapi si Kelam Hero itu orangnya cakep Ndi, ga gembul dan keren deh…hehehe, tapi biar gimana pun, my Andi the Hero tetap tak terkalahkan meski ada ribuan Kelam Hero…jangan ge-er ya Ndi…kalau tidak kesampaian jadi aktor, sekolah ya Ndi, pasti Andi bisa deh, kan ada bu guru Echa…ya kan cha…

Mei-mei, temanku yang mungil dan lucu…Mei…beberapa waktu lalu aku pernah menolong sepasang bayi kembar yang lucuuuu banget, mirip kamu banget Mei…sayangnya aku nggak sempat bertemu orangtuanya, mungkin ada ikatan saudara sama kamu kali, Mei…hehehe, becanda ya Mei…,gimana ya kabarmu? Apa kamu berhasil jadi pemain harpa? Aku selalu berharap kamu berhasil mencapai impianmu, tetap menjadi pemain harpa ya Mei…apapun yang terjadi kamu harus bisa mencapai impianmu, mencapai cita-cita mu….

Tanah kelahiranku, tanah tumpah darahku, disanalah aku dilahirkan dan dibesarkan…disanalah pula kutinggalkan segala asa ku, kutinggalkan segala kebahagiaanku, tak ingin kuucapkan kalimat  perpisahan, tapi kalimat itu terpaksa harus kuucapkan… karena ketika akhir cerita sudah di tuliskan, tidak akan  ada  yang dapat mengubahnya…

“Kehidupan itu bagai roda, kadang di atas kadang di bawah, sama seperti roda-roda yang menghantarkan aku menuju segala impianku…impian yang kuanggap sekarang semu karena semuanya harus dibayar dengan kerinduan akan kenangan yang sudah terlewati, alangkah lebih baik bila aku masih dapat kembali ke masa itu. Tidak akan ada yang mengetahui pilihanku, biarlah tidak ada yang akan tahu, akan kukubur semua itu dalam alam pikiranku sendiri. Satu hal yang ku sesali, bila aku tahu pada saat roda-roda yang memberangkatkanku ke kota Jakarta tidak akan membawaku kembali ke tanah kelahiranku, pastinya aku takkan melangkah menuju roda-roda itu. Tapi, sayangnya aku lebih memilih untuk menyesal dari pada harus menggapai kembali segala kenangan itu walaupun untuk terakhir kalinya dalam hidupku....dan bila masih ada kesempatan yang diberikan kepadaku untuk terakhir kalinya untuk menuliskan namaku, izinkanlah aku untuk kembali menuliskan nama itu, nama yang sudah kulupakan, nama yang hanya tinggal kenangan dan nama yang selalu kurindukan…. Kirana Kasih (Kika)”

“Jika waktu enggan menyapa, siapa yang sanggup memaksanya?”
“Jika perpisahan merupakan akhir dari segalanya, siapa yang sanggup menolaknya?”

Completed : Jakarta, 7 Februari 2012