Tuesday, February 28, 2012

cerpen - jika waktu enggan menyapa - created by Me...:)

Sebagai seorang yang sangat menyukai dunia tulis menulis, saia mau share cerpen yang saia buat.  Kalau ingat dulu waktu jaman SMP, buat novel, komik, majalah dsb...pokoke banyak deh...dan beberapa masih disimpan sampai sekarang, sisanya udah ga tau kemana....
berhubung liat2 file, kira-kira apa lagi yah yang mau di share di blog ini, maka saia seperti biasa lihat email-email lama, trus kemudian berpikir, :"eh, kan gw punya beberapa cerpen di my data, gimana kalo gw share aja nih cerpen gw??" akhirnya saia coba deh nerbitin nih cerpen di blog ini, besok saia kasih lagi cerpen lain...
selamat membaca....


-------------------------------------------------------------------------


“Haii Kika….kuliah dimana lo??” Echa datang mengagetkan.
“Surprise dong!!” sahut Kika sambil tersenyum santai.
“Yee, pelitttt!!!” Echa menjulurkan lidahnya.
“Biar!!!” sahut Kika sambil berlalu pergi meninggalkan Echa yang masih mencak-mencak.

Kika berjalan menyusuri gerbang sekolah setelah acara perpisahan dengan teman-teman sekolah. Kalau membayangkan Echa sahabatnya dari SMP itu mengajukan pertanyaan tadi, membuat Kika senyam senyum sendiri. Maklumlah, Kika mau memberi kejutan ke Echa, Leon, Andi dan Mei-mei serta keluarganya karena ia sudah lulus masuk ke fakultas kedokteran di kotanya, Kika juga ingin memberitahukan ayah, ibu, kakek, nenek dan Kinda adiknya yang baru berusia 7 tahun.
                                    
Kika bersiul-siul memasuki halaman rumahnya, dan hampir saja Kika menabrak pintu, tatkala ia mendengar suara dari dalam rumah : “Bagaimana ini, yah? Bagaimana kita bisa menyampaikan kepada Kika kalau dia tidak bisa kuliah dulu, bagaimana kita bisa mengatakan kepadanya kalau ayah sudah tidak bekerja lagi?” suara ibu dari dalam rumah membuat Kika lemas dan seakan-akan tempatnya bertumpu terbelah menjadi dua bagian, suara yang membuat cita-citanya kandas, suara yang menghancurkan angan dan impiannya, suara yang membuatnya mengambil keputusan, keputusan yang akan disesalinya seumur hidupnya, keputusan yang akan merubah hidupnya, keputusan yang akan menjadikannya seorang pelarian, keputusan yang akan membuatnya dipermainkan oleh waktu  dimana waktu dan keadaan tidak mau berkompromi dengannya…

Kika tidak diketemukan sejak hari perpisahan sekolah, sudah dua bulan berlalu, namun tidak ada juga kabar dari Kika. Kika seperti hilang di telan bumi, tiada kabar berita maupun tanda-tanda akan keberadaan Kika. Echa yang terakhir kali melihat Kika pun benar-benar berharap kalau kejutan yang akan ditunjukkan Kika bukanlah kepergiannya yang tiba-tiba entah kemana. Dulu, mereka berlima selalu bersama Kika, Echa, Leon, Andi dan Mei-mei. Dan di belahan kota lain, Kika sedang menyusun rencana masa depannya, ia bertemu dengan keluarga Widja yang memberi tempat bernaung pada saat Kika kebingungan di stasiun tak tentu arah. Kebetulan bapak dan ibu Widja ini baru saja mengantar sanak saudara mereka ke stasiun setelah acara pernikahan putra tunggal mereka. Bapak dan ibu Widja sangat senang ketika Kika mau tinggal di rumah mereka. Kika mengaku bahwa dia anak panti asuhan yang terpaksa keluar panti karena anak seusianya harus mandiri, dan itu tandanya dia harus keluar dari panti. “Siapa namamu, Nak?” tanya Ibu Zesa Widja dengan ramah.
“Kinanti, bu” Kika menjawab sambil berkata dalam hati, ‘tiada lagi Kirana yang ada hanya Kinanti’
“Oh, nama yang bagus sekali, nak” ibu Widja berkata tulus
“Terima kasih bu”, jawab Kika.

Bapak dan ibu Widja memperlakukan Kika seperti anaknya sendiri, maklumlah mereka hanya memiliki seorang anak tunggal yang kini tinggal di Belanda. Jadi, kehadiran Kika di rumah mereka disambut dengan baik sekali. Kika kuliah di kedokteran sebuah perguruan tinggi terbaik dan mendapat nilai yang sangat baik sekali. Kika lulus dengan membanggakan, dan Kika sangat bangga akan pencapaiannya. Seketika ia terlupa akan dirinya, akan keluarganya, akan teman-temannya yang selalu mengharapkan kedatangannya.

Hari ini adalah hari pertama Kika bekerja sebagai spesialis internis di Rumah Sakit milik keluarga Widja, Kika merangkap sebagai Direktur Rumah Sakit. Acara penyambutan Dokter Kinanti Zesa Widja (nama yang digunakan sejak diangkat menjadi anak oleh keluarga Widja). Di kota lain, seorang nenek yang selalu menjaga Kika sejak kecil terkapar tak berdaya, hanya tinggal para tetangga yang menaruh belas kasihan kepada nenek Kika. Di Jakarta, orang tua dan adik Kika terpisah pada saat pencarian Kika, dimana orang tuanya sekarang menjadi penghuni wisma penampungan khusus orang-orang yang tidak memiliki rumah, sedangkan adiknya menjadi kuli bangunan di sebuah proyek jembatan layang. Di tempat lain, empat sahabat Kika sibuk dengan kehidupan masing-masing. Echa sedang mengambil program S2 bidang pendidikan ke Jepang, Leon seorang arsitek yang diberi tugas untuk membangun hotel mewah Aros Group, salah satu grup konglomerasi terkenal yang memiliki banyak lini usaha, Andi berhasil mencapai cita-cita menjadi seorang aktor dan Mei-mei tinggal di tanah kelahiran untuk melanjutkan usaha orangtuanya yaitu pabrik kapur.

“Dokter Kinanti…”Nanda sekretarisnya memanggil.
“Ada apa, Nanda ?”, tanya Kika
“Begini dok, masalah pembangunan rumah sakit kita yang bekerja sama dengan Aros Group apakah perlu kita pakai kontraktor yang digunakan oleh Aros?” tanya Nanda.
“Hmm, boleh…saya dengar kontraktornya itu punya arsitek terbaik di negeri ini, kita bisa memakai jasa mereka”, Kika menjawab sambil matanya terus memandang status pasien.
“Baik, dok....” Nanda mengakhiri pembicaraan mereka.

Kinda mengusap peluh akibat keringat yang mengucur deras karena terpanggang sinar matahari siang yang terik. Duduk terpekur di bawah konstruksi jembatan layang yang kini tengah dikerjakannya dengan teman-teman yang lain. Di kejauhan dari tempat ia duduk, pandangannya melayang ke konstruksi bangunan mewah yang terbentang di depannya. Konstruksi sebuah hotel mewah milik grup terkenal di negerinya. Rasa lapar dan haus tak menghalanginya untuk tetap mengagumi, betapa indah dan megahnya konstruksi hotel tersebut. Sesekali raut kesedihan muncul di wajahnya yang hitam dan lesu. Teringat olehnya orangtuanya yang kini entah berada dimana dan nenek yang sakit-sakitan. Terlintas kakaknya yang telah lama menghilang, yang memaksanya untuk kuat seperti sekarang ini. Kembali bayangannya tersapu oleh kenangan sang kakak yang selalu membawakan permen berwarna tiga kepadanya. Waktu itu ia baru berusia 7 tahun dan kakaknya 17 tahun, dan kini, sudah 10 tahun lewat sejak terakhir kali sang kakak memberikan permen tiga warna itu. Dulu Kinda tidak pernah tahu alasan apa yang membuat kakaknya pergi dan sekarang pun tidak. Teringat ketika itu, ia membeli permen tiga warna dua buah untuk sang kakak yang lulus ujian dengan hasil yang baik. Kinda menunggu sang kakak hingga fajar kembali ke ufuk barat, sang kakak tidak juga muncul. Kinda tertidur di dekat pintu sambil terus memegang permen tiga warna yang akan diberikan kepada sang kakak. Permen yang lumer tersengat panas, permen yang tidak pernah sampai kepada sang kakak. Sekali lagi Kinda menghela napas. Sesekali teringat olehnya ucapan sang kakak, “Kinda…nanti kalau sudah besar mau jadi apa?”
“Kakak mau jadi apa memangnya?” tanyanya waktu dulu.
“Kakak mau jadi dokter…” sahut Kika
“Kalau kakak jadi dokter, Kinda jadi pemain sepak bola deh…” sahut Kinda
“Kenapa begitu?” tanya Kika lagi
“Karena kalau Kinda sakit, Kinda bisa datang sama kakak, terus kalau kakak lagi bosan bisa lihat pertandingannya Kinda, kalau kita sama-sama dokter, kalau ada yang bosan, ga ada yang bisa menghibur” sahutnya polos.

Teringat senyum kakaknya yang selalu mendamaikan hatinya. Seketika Kinda kembali larut dalam kesedihan bila mengingatnya. Selalu dirindukannya kakaknya tercinta yang selalu menghibur dirinya. “Kakak, sekarang kakak dimana?? Apa kakak sudah jadi dokter? Tapi Kinda sekarang tidak jadi pemain sepak bola kak, biarlah kakak berhasil menjadi seorang dokter dan Kinda tidak menjadi pemain sepak bola, asalkan kakak kembali seperti dulu” Kinda berharap dalam hati. Wuuuuzzzzzz seketika asap kendaraan yang baru saja melaju menyelubungi wajahnya, membuat Kinda terbatuk, selintas dilihatnya sebuah mobil mewah keluaran baru melintas di depannya dengan seorang wanita terpelajar duduk di belakang kemudi. Sinar matanya seperti begitu dikenali, tapi tak sempat Kinda berpikir, panggilan kerja mengharuskannya untuk kembali konsentrasi menyelesaikan pekerjaannya.

Kika menyusuri jalanan yang panas terik dengan mobil terbarunya. Kika sedang menuju kantor kontraktor yang katanya memiliki arsitek yang bagus. Tak disadarinya, mobilnya yang melaju kencang itu menimbulkan asap yang tertinggal pada seorang kuli bangunan yang sedang merenung. Sesampainya di gerbang yang menghantarkannya ke sebuah gedung mewah milik kontraktor March, Kika langsung terkagum-kagum. Arsitekturnya sungguh mengagumkan. Pantaslah grup besar sekelas Aros menggunakan jasa si kontraktor March. Kebetulan hari itu, pemilik March sedang ada di tempat. Bpk Irwan March adalah seorang bapak yang berkharisma. Pertama kali melihatnya Kika jadi teringat ayah, tapi segera dilupakannya. Perbincangan pun berlanjut untuk kerjasama mereka.
“Wah, terima kasih ibu Kinanti atas kepercayaan ibu kepada kami” terdengar suara berat Irwan March”
Ssama-sama , Pak”, sahut Kika sekenanya.
“Sayang sekali, arsitek saya sedang keluar, jadi nanti saja saya bisa kenalkan pada ibu” jawab Irwan lagi.
Bbaik, Pak…semua saya serahkan kepada Bapak seperti yang saya inginkan tadi. Bapak silakan berkoordinasi dengan arsitek bapak dan Nanda, sekretaris saya…jadi bila ada hal-hal yang dirasa perlu, bapak bisa menghubungi Nanda saja” Kika berkata sambil berdiri hendak beranjak.
“Terima kasih bu” sahut Irwan ramah.

Kembali sosok Irwan March hadir dalam bayangan Kika. Tapi segera ditepisnya bayangan itu. Kika menggeram ketika ia begitu amat menyukai kharisma seorang Irwan March. “Sepertinya umurnya tidak beda jauh dari ayah, tapi Pak Irwan sungguh berbeda” begitu piker Kika. Kika berhasil menguasai dirinya dengan menepis jauh-jauh bayangan Pak Irwan.

“Leon!!” Pak Irwan memanggil anak buahnya
“Iya, Pak…” sahut Leon
“Tadi siang, Dokter Kinanti Zesa Widja datang ke sini untuk bekerja sama dengan kita membangun proyek rumah sakit besar. Dia ingin kamu yang menjadi arsiteknya” seru Pak Irwan tak sanggup menyembunyikan kegembiraannya.
“Dokter Kinanti Zesa Widja?” tanya Leon
“Iya, kenapa? Kamu kenal” tanya Pak Irwan lagi.
“Oh, tidak, Pak…hanya belum pernah dengar saja” sahut Leon sekenanya.
“Dia itu putri dari Pak Widja dan Ibu Zesa Widja, Leon..pemilik Rumah Sakit Widja Family, yang anak sulungnya itu juga dokter ahli syaraf yang sekarang tinggal di Belanda…” Pak Irwan menjelaskan.
“Hmmm…” Leon bergumam
“Nanti kamu berurusan dengan Nanda sekretaris Dokter Kinanti, jadi segala sesuatu harus kamu koordinasikan dengan Nanda..” Pak Irwan mengakhiri pembicaraan.
“Baik, Pak” sahut Leon

Echa membuka-buka album lama. Terlihat olehnya 5 sekawan berfoto dengan pose-pose mereka yang membuat Echa tersenyum-senyum sendiri sekaligus sedih. Terpampang foto waktu mereka ber-5 ikut barisan pencinta alam dimana mereka menorehkan nama masing-masing di sebatang pohon. Tertawa-tawa sendiri mengingat kejadian lucu di antara mereka. Kirana Kasih yang sebenarnya memiliki nama panggilan Rana yang akhirnya punya panggilan kesayangan Kika. Teman-temannya suka mengejek : “kika…kiri…kanan…kika…kiri…kanan….” Dimana Echa selalu jadi pembela terbaik bagi Kika. Meissha yang akrab di panggil Echa merupakan pembela saat Kika dijahili teman-temannya. Panggilan Echa itu ada ceritanya. Itu juga karena ada dua nama Meissha di geng mereka, satu Meissha Irena yang dipanggil Echa dan Meissha Quany yang harus dengan tabah menerima dipanggil dengan sebutan Mei-mei. Echa senyum sendiri ketika membayangkan Mei-mei dipanggil bukan dengan namanya. Mukanya berubah menjadi seperti kerucut, begitu kata Andi bila ingin menjahili Mei-mei. Leon yang memiliki nama Leonardi dan Andi yang suka menyebut dirinya sendiri Andi the hero. Ahh, sesekali Echa mengusap album kenangan itu, album yang dibawanya serta ke Jepang.

Dulu mereka punya impian akan kuliah di kota yang sama. Kalau perlu di universitas yang sama biar berbeda jurusan. Kika yang pintar ingin menjadi seorang dokter biarpun keluarganya bukan orang yang mampu. Tapi, Echa yakin kemampuan Kika akan membuatnya mendapatkan beasiswa. Echa, yang merasa terpanggil menjadi seorang guru memang bercita-cita untuk menjadi guru terbaik yang memecahkan banyak misteri yang selalu menjadi tanda tanya selama sekolah dulu. Leon yang pintar matematika dan gambar, ingin jadi seorang arsitek seperti ayahnya yang entah sekarang ada dimana. Andi, yang hobinya menonton film dibandingkan belajar meskipun ujian di depan mata selalu merasa dirinya tidak berbakat di bidang akademik. Andi tidak membenci sekolah, hanya baginya sekolah itu bukanlah tujuan hidupnya. Jadi, selesai SMA, Andi lebih banyak ikut kasting film yang menghantarkan dia menjadi seorang pemain film. Memang belum sukses untuk mendapat peran utama, tapi yang pasti jam terbangnya di dunia perfilman meski jadi pemeran pendukung, bisa diperhitungkan. Echa berusaha terus-terusan memaksa Andi agar kuliah. Andi enggan. Bahkan, biar Echa sendiri janji yang akan mengajarnya menjadi orang yang lebih terdidik, dengar ucapan Andi..”Echa, gw ini emang udah diciptain dari sononya tuh kaga niat sekolah, mau lo yang ngajar atau professor paling jenius sekalipun, ga akan bikin otak dodol gw ini kayak lo lo pada….udah lah cha, lo semua pada pinter, lo semua berhasil mendapatkan apa yang lo mau…biarin gw juga ngedapetin apa yang gw mau…masa depan gw bukan ditentukan seberapa tinggi gw sekolah cha…tapi seberapa jauh gw berusaha untuk menggapai impian gw….” Echa hanya menghela napas.

Heran dia sama temannya yang satu ini, paling nggak bisa dibilangin kalau udah menyangkut sekolah. Tapi, biar Andi malas-malasan begitu, nggak pernah sekalipun dia menyontek. Itulah yang membuat Echa kagum pada Andi. Mei-mei lain lagi ceritanya. Kebetulan Mei-mei ini bisa dibilang anak bungsu di geng mereka, dikarenakan dia yang paling terakhir lahir, alias paling muda. Mei-mei masuk sekolah umur 5 tahun karena orang tuanya sibuk mengurus pabrik. Daripada Mei-mei main-main tak menentu lebih baiklah kalau dia sekolah. Sebenarnya, Mei-mei punya cita-cita menjadi seorang pemain harpa, sesuatu yang ditentang keras oleh keluarganya. Mei-mei anak ke 12 dan satu-satunya putri tercantik di keluarganya. Semua kakak laki-lakinya sangat sayang pada Mei-mei. Ketika semua kakaknya menikah dan tinggal Mei-mei sendiri yang tinggal di rumah, maka Mei-mei tidak melanjutkan kuliah. Dia ambil kursus komputer dan bekerja melanjutkan usaha orangtuanya. Echa tahu, Mei-mei sangat ingin kuliah di jurusan seni, tapi usaha keluarga harus ada yang meneruskan. Setidaknya, Mei-mei masih punya pegangan hidup bila nanti orangtuanya meninggalkan dia. Mei-mei pun tak tega melihat orangtuanya yang sudah sakit-sakitan. Dan sekarang Mei-mei telah menikah dengan Bara pujaan hatinya dan memiliki sepasang bayi kembar Barney dan Barley.

Kembali Echa mengelus sampul album itu. Memeluk album ini semakin membuat Echa sadar, persahabatan mereka sangat berarti. Persahabatan yang selalu diisi dengan keceriaan semata. Hari ini, daun-daun mulai menampakkan wajah cantiknya. Sebentar lagi musim semi, yang artinya sebentar lagi Echa akan kembali ke negaranya tercinta. Kembali ke kota kelahirannya, kembali mengenang masa-masa yang telah lalu. Sampai saat ini, persahabatan Echa, Leon, Andi dan Mei-mei masih terus berlanjut. Saling mendukung satu dengan yang lain. Pikiran Echa kembali melayang saat perpisahan SMA dulu, saat terakhir kali ia melihat Kika, saat terakhir kali Kika mengucapkan akan memberi kejutan kepada Echa, kejutan yang sampai saat ini Echa berpikir kalau kejutan itu adalah kejutan untuk pergi meninggalkan mereka tanpa memberi kabar berita. “Kika…dimanapun lo berada, gw harap lo bisa mencapai cita-cita lo” tak sadar Echa berucap sambil memeluk album persahabatan mereka.

Leon pergi sebentar ke rumah sakit untuk menemui Nanda, mengkoordinasikan apa-apa saja yang perlu dan harus dikerjakan untuk proyek mereka. “Nanda!!” terdengar seruan Kika.
“Iya, Dokter” sahut Nanda.
“Tolong kamu urus semua tentang proyek pembangunan rumah sakit kita, jangan ada satupun yang terlewati” tegas suara Kika terdengar.
“Baik, Dok…oh, iya dok, tadi arsitek dari March datang dan…..” belum selesai Nanda bicara langsung dipotong “iya, kamu urus dan koordinasikan dengan si arsitek itu dan jangan ada satupun yang terlewati” Kika berjalan meninggalkan Nanda yang terkesima.

Tak lama, muncullah Leon, “Mbak Nanda, tadi yang lewat itu siapa?” tanya Leon.
“Itu yang namanya Dokter Kinanti Zesa Widja, anaknya pemilik rumah sakit ini” seru Nanda berbisik.
“Hmm, sepertinya Dokter Kinanti itu adalah orang yang teramat serius ya” Leon berusaha mencairkan ketegangan yang ditimbulkan oleh sikap Nanda yang berlebihan.
“Dokter Kinanti itu sebenarnya baik, baik sekali, tapi entah kenapa wajahnya selalu murung bila sedang sendiri, dan dia bisa sangat amat tegas bila ada orang yang mencampuri urusan pribadinya” bisik Nanda lagi.
“Oh, begitu” sahut Leon sekenanya.

Sebenarnya Leon begitu tertarik mendengar cerita Nanda, tapi dia juga tidak ingin Nanda berpikir dirinya ingin tahu urusan orang lain. Sayangnya, Leon tidak sempat bertegur sapa dengan Dokter Kinanti. Yah, mungkin kali lain…tapi ada suatu perasaan lain merasuki Leon sekembalinya dari rumah sakit. Di rumah, Leon kembali membayangkan sikap Dokter Kinanti. Leon memang tidak melihat wajahnya yang tertutup partisi tinggi ruangan Nanda, tapi dari kejauhan dia bisa merasakan sikap tegas dari Dokter Kinanti. Entah mengapa, tiba-tiba Leon jadi teringat pada Kika. Pada sikap tegas Kika, pada semua yang ada pada Kika. Tapi Dokter Kinanti bukan Kika, bukan Kika yang hanya dari keluarga tak mampu yang tidak akan sanggup membiayai kuliah Kika di kedokteran. Jangankan kedokteran, kuliah sekalipun belum tentu mampu. Beruntungnya Dokter Kinanti…dimana Kika sekarang? Seandainya mereka bertemu suatu saat nanti, apakah Kika telah berhasil mencapai impiannya? Tak lama Leon tertidur dalam bayangannya. Mimpi masa sekolah menghiasi malamnya. Tersenyum dan tersenyum. Waktu telah mempertemukan mereka tanpa saling menyadari. Memang takkan pernah tersadari dan akan tetap menjadi rahasia alam yang takkan pernah terbuka. Karena waktu yang memisahkan mereka pada kedalaman yang tak tersebrangi dan waktu pula yang enggan mempertemukan mereka kembali.

Malam ini ada acara gala premier film “Mutiara Hati”. Sebenarnya Kinanti malas menontonnya kalau saja Bapak dan Ibu Widja tidak memohon dengan sangat untuk datang atas undangan sang produser yang merupakan kolega mereka karena Bapak dan Ibu Widja berhalangan datang. Setelah berbasa-basi dengan produser, Kinanti duduk di tempat yang telah disediakan. Dalam gala premier itu, para tokoh utama dan pemain pendukung datang meramaikan promosi perdana mereka. Dengan malas-malasan Kinanti melihat ke layar besar itu. Tertulis tokoh utama, Raka San dan Saccy Khan. Pemain pendukung : Nindy Muya, Sandro Aris dan Kelam Hero. Kinanti tertawa kecil waktu membaca nama pemain terakhir, Kelam Hero…nama yang unik sekali, pasti bukan nama asli, pikir Kinanti. Kinanti tidak begitu berkonsentrasi menonton film, karena sudah 10 tahun ini dia sangat membenci film. Benci dengan drama kehidupan palsu yang dibangun oleh berbagai sineas. Benci melihat kebahagiaan yang tergambar di sana. Tapi kali ini, entah mengapa, biar pun Kinanti tidak begitu berkonsentrasi, rasa penasaran akan si Kelam Hero membuat dia betah menunggu sampai film selesai.

Tapi, tepat beberapa saat setelah film berhenti, dering telepon mengurungkan niat Kinanti untuk berkenalan dengan si Kelam Hero. Dengan meminta maaf, Kinanti buru-buru pamit kepada Bapak Produser karena ada panggilan mendadak dari rumah sakit. Belum ada sepuluh menit Kinanti keluar, para pemain menyampaikan rasa terima kasih kepada orang-orang yang dianggap mereka berjasa pada karir mereka. Setelah satu-satu pemain itu berbicara, tibalah giliran Kelam Hero untuk berbicara : “Terima kasih kepada Tuhan, keluarga dan juga para manajemen film karena memberikan saya kesempatan untuk dapat bermain di film ini, saya juga menyampaikan terima kasih saya kepada sahabat-sahabat saya dimanapun mereka berada”.

“Mas Kelam Hero, boleh tau ga, kenapa pakai nama samaran itu?” tanya seorang penonton.
“Sebenarnya, nama itu adalah singkatan dari 5 sekawan, sahabat-sahabat saya yang selalu mendukung saya, teman-teman yang selalu ada di hati saya, KELAM itu adalah Kika, Echa, Leon, Andi dan Mei-mei…dan Hero adalah sebutan masa kecil saya, Andi the Hero…” air muka Andi seketika berubah ketika mengucapkan kata-kata itu. Terlihat dia sangat begitu merindukan teman-temannya hadir di saat itu.

Seketika suasana hening, tapi Andi mampu mencairkan suasana dengan memberikan lelucon-lelucon lucu yang membuat hadirin tertawa.

Malam ini dengan terburu-buru Kinanti datang ke rumah sakit, sepasang bayi kembar mengalami sesak nafas dan dia harus cepat-cepat menolong bayi-bayi itu. Untungnya, Kinanti datang tepat waktu sehingga kedua bayi tersebut dapat diselamatkan. Kinanti tersenyum melihat kedua bayi yang sekarang sedang tertidur lelap dan sudah boleh dibawa pulang. Tidak berapa lama kemudian setelah memastikan segala sesuatunya baik adanya, Kinanti pulang ke rumah.

“Terima kasih, sus” seru ayah dan ibu bayi itu.
“Jangan terima kasih sama saya, Pak, Bu…” seru Suster Ria tersenyum
“Dokter siapa yang menolong bayi kembar kami, sus?” tanya ayah bayi itu.
“Namanya Dokter Kinanti Widja” seru Suster Ria lagi.
“Boleh kami bertemu dengan Dokter Kinanti” tanya ibu bayi itu.
“Dokter Kinanti sudah pulang, bu” jawab Suster Ria.
“Oh, kalau begitu sampaikan terima kasih kami kepada Dokter Kinanti ya, sus” seru sang ayah.
“Baik, Pak, Bu” jawab Suster Ria lagi.

Mei-mei dan Bara membawa kedua bayi kembar mereka langsung ke rumah kerabat mereka di Jakarta untuk kembali membawanya ke Jogja esok hari. Sebelum meninggalkan rumah sakit, Mei-mei dan Bara mengirimkan surat kecil untuk Dokter Kinanti.

“Terima kasih Dokter Kinanti yang cantik dan baik hati, kapan-kapan main ke rumah kami ya…Salam…Barney dan Barley…dua baby yang Dokter cantik selamatkan” Kinanti tersenyum sambil kembali melipat surat kecil tersebut dan meletakkannya di laci meja kerjanya. Kinanti beranjak pergi tanpa melihat ada foto di dalam sampul surat itu, foto sepasang bayi kembar dan orang tuanya, serta tulisan  di balik foto “our lovely  Barney and Barley….Bara dan Meissha – untuk Dokter Kinanti yang baik hati”.  Saat ini pun waktu seperti enggan untuk mempertemukan mereka.

Di panti penampungan tunawisma, orang tua Kika tidak melakukan banyak aktivitas, dikarenakan usia mereka yang sudah tua dan penantian yang tiada berujung. Ayah lebih banyak diam di kursi goyang sambil menatap ke jendela. Ibu lebih sedikit aktif, masih mencoba untuk membaca majalah-majalah lama atau kadang-kadang melamun sehingga terlihat matanya yang kosong menatap ke depan. Mau kembali ke Jogja tidak ada biaya, teringat kakek dan nenek di sana. Memikirkan Kika yang entah dimana keberadaannya dan juga Kinda yang terpisah sejak mereka pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta.

Dunia dan waktu adalah sesuatu yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Dunia akan selalu ada bila waktu masih terus berjalan, dan waktu akan terus berjalan selagi dunia masih ada. Satu kejadian banyak cerita. Satu benang merah berbagai kesimpulan.

Kakek dan nenek Kika di kampung halaman membawa segala rindu dan penantian ke rumah Bapa di Surga. Ayah dan Ibu yang juga kembali ke Jogja setelah bertemu kembali dengan Kinda membawa sejuta penantian yang tak kunjung tiba sampai akhir hayatnya. Kinda, yang menjadi seorang kepala operasi sebuah perusahaan kontraktor yang memiliki proyek membangun lapangan sepak bola di Jogja, akhirnya bisa menjadi pemain sepak bola meski hanya sesekali tampil sambil menjaga ayah dan ibu yang mulai dihalusinasi oleh berbagai bayangan tak masuk akal. Masih sesekali terlintas dalam pikirannya seorang wanita terpelajar yang duduk di balik kemudi yang meninggalkan asap ke wajahnya yang terpanggang matahari yang memancarkan sinar mata yang pernah dikenalnya.

Echa, seorang Guru Besar salah satu universitas bergengsi yang masih dan selalu tetap memaksa Andi untuk sekolah, biarpun yang empunya selalu menolak. Leon, yang setelah merampungkan proyek rumah sakit Widja Family, mengundurkan diri dari March dan membangun usahanya sendiri tanpa mengetahui bahwa proyek terakhirnya adalah proyek yang seharusnya mempertemukannya dengan sahabatnya. Andi, yang meskipun belum mencapai impiannya menjadi tokoh utama, termasuk salah satu bintang yang populer saat ini, tidak akan pernah mengetahui bahwa sahabatnya menonton gala premier film paling laris tahun ini dan Mei-mei yang bahagia dengan keluarga kecilnya, tanpa pernah tahu bahwa sahabatnya yang menolong kedua bayinya.

Keluarga Widja, ayah, ibu dan Cavin Widja….keluarga baruku, pelindungku, mengangkat dan membimbing aku, memoles kehidupanku dari kerikil menjadi berlian, menjadikan diriku permata di hati kalian, kalian adalah sinar hidupku, sinarku yang redup dan kembali menyala karena obor kasih yang diberikan untukku….-Kinanti Zesa Widja-

Dokter Darren de Scholff Aros, dosenku, penyemangat hidupku, pilihanku…jangan pernah bertanya mengapa aku memilihmu, karena aku pun tak tahu…aku tak memiliki jawaban untuk pertanyaan itu….tidak semua pertanyaan harus memiliki jawaban begitupun dengan pilihan, karena tidak semua pilihan memiliki alasan …. -Kinanti Zesa Widja-

Dokter Kinanti Zesa Widja menetap di Belanda bersama kakak angkatnya, anak dari Bapak dan Ibu Widja setelah dia menikah dengan seorang Dokter Radiologi yang dulu pernah menjadi dosennya. Tidak ada yang mengetahui apa alasan Kinanti menerima Dokter berkebangsaan Belanda yang sudah berusia 55 tahun tersebut yang juga merupakan pewaris tahta kerajaan Aros Group. Keberangkatan Kinanti ke Belanda merupakan titik akhir dari segala kisah hidupnya. Sampai akhir menutup mata, tidak ada lagi kesempatan untuk menjenguk segala kenangan yang ditinggalkannya dan tetap menjadi cerita penantian tanpa akhir di tanah air tercinta.

Nanda merapikan meja kerja Dokter Kinanti sepeninggalnya ke Belanda. Dilihatnya amplop yang di dalamnya terdapat foto Barney dan Barley. Nanda tersenyum dan bergegas meletakkan kembali foto itu ke tempatnya, foto yang tetap tersimpan rapi selamanya, karena Nanda lah orang terakhir yang melihatnya sebelum rumah sakit itu dilebur menjadi gedung perkantoran Aros Group. Di situ pulalah lebur catatan hati Kika yang disimpannya sebelum dia berangkat ke Belanda, catatan yang tidak penah tersampaikan :
Bila dapat waktu kuputar, akan kuputar…akan kucari jalan terbaik tanpa harus mengorbankan cita-cita dan kebahagiaanku akan sahabat-sahabatku. Kakek dan nenek, maaf bila Kika mengecewakan kakek dan nenek, Kika berharap kakek dan nenek memaafkan Kika, kakek dan nenek akan selalu ada di hati Kika…ayah dan ibu…maaf kan Kika karena pergi tidak bilang-bilang, tapi Kika harap, ayah dan ibu mengerti di kejauhan sana, karena Kika ingin menggapai impian Kika, maafkan Kika yang tidak bisa mengerti kondisi keluarga kita dulu, maafkan Kika yang terlalu emosi meninggalkan ayah dan ibu pada saat ayah dan ibu membutuhkan dukungan dari Kika…maafkan Kika ayah..ibu…Kinda adikku sayang, maafin kakak ya tidak bisa lagi membelikan permen tiga warna pada Kinda, sekarang Kinda sudah besar kan? Apa masih suka permen tiga warna? kakak selalu berharap Kinda bisa menjadi pemain sepak bola. Waktu itu Kinda kan bilang, kalau kakak jadi dokter dan sedang bosan, kakak akan datang melihat pertandingan bola Kinda, tapi mengapa saat kakak bosan Kinda tidak mengundang kakak menonton pertandingan sepak bola Kinda? Apa Kinda marah karena kakak tidak pulang-pulang? Apapun yang terjadi, Kinda harus tetap menggapai impian Kinda…tapi jangan sampai seperti kakak, menggapai impian dengan meninggalkan orang-orang tercinta tanpa kabar…kakak tidak bisa memberi kabar karena ada alasan yang tidak bisa kakak ungkapkan, dan biarlah itu menjadi rahasia besar kakak…

Echa, pembelaku, sahabatku…jadilah guru terbaik di negeri ini, cha…maafkan aku tidak menyempatkan memenuhi kejutan yang aku katakan pada saat terakhir kali kita bertemu. Kita masuk universitas yang sama, cha…tapi aku tidak bisa kuliah karena ketidakmampuan orangtuaku…maafkan aku, cha…jika aku tahu aku akan pergi jauh, pastinya akan kuberitahu kejutan itu…

Leon, sahabatku yang pintar..ingatkah Leon, dulu kamu suka menggambar karikatur kita berlima. Tentu saja Echa yang selalu sering protes, karena menurut dia karikaturnya kegemukan,,,,hahhaha…kangen rasanya Eon….kangen rasanya melihat karikatur itu lagi, sayangnya kutinggalkan itu semua di rumah, semoga Kinda selalu menyimpannya ya…Kinda sangat suka karikaturnya…terima kasih kamu telah menjadi bagian dari kehidupan indahku, kehidupan bersama sahabat-sahabat yang lain…aku ingin mendengar namamu menjadi arsitek terkenal, nanti kamu bangun rumahku ya?

Andi, temanku yang gembullllllllll….gimana jadi aktor kah kamu sekarang? Eh iya Ndi, beberapa saat yang lalu aku nonton gala premier, ada namanya Kelam Hero….aku tersenyum sendiri, kata “Hero” mengingatkan aku akan Andi the Hero temanku yang baik hati…tapi si Kelam Hero itu orangnya cakep Ndi, ga gembul dan keren deh…hehehe, tapi biar gimana pun, my Andi the Hero tetap tak terkalahkan meski ada ribuan Kelam Hero…jangan ge-er ya Ndi…kalau tidak kesampaian jadi aktor, sekolah ya Ndi, pasti Andi bisa deh, kan ada bu guru Echa…ya kan cha…

Mei-mei, temanku yang mungil dan lucu…Mei…beberapa waktu lalu aku pernah menolong sepasang bayi kembar yang lucuuuu banget, mirip kamu banget Mei…sayangnya aku nggak sempat bertemu orangtuanya, mungkin ada ikatan saudara sama kamu kali, Mei…hehehe, becanda ya Mei…,gimana ya kabarmu? Apa kamu berhasil jadi pemain harpa? Aku selalu berharap kamu berhasil mencapai impianmu, tetap menjadi pemain harpa ya Mei…apapun yang terjadi kamu harus bisa mencapai impianmu, mencapai cita-cita mu….

Tanah kelahiranku, tanah tumpah darahku, disanalah aku dilahirkan dan dibesarkan…disanalah pula kutinggalkan segala asa ku, kutinggalkan segala kebahagiaanku, tak ingin kuucapkan kalimat  perpisahan, tapi kalimat itu terpaksa harus kuucapkan… karena ketika akhir cerita sudah di tuliskan, tidak akan  ada  yang dapat mengubahnya…

“Kehidupan itu bagai roda, kadang di atas kadang di bawah, sama seperti roda-roda yang menghantarkan aku menuju segala impianku…impian yang kuanggap sekarang semu karena semuanya harus dibayar dengan kerinduan akan kenangan yang sudah terlewati, alangkah lebih baik bila aku masih dapat kembali ke masa itu. Tidak akan ada yang mengetahui pilihanku, biarlah tidak ada yang akan tahu, akan kukubur semua itu dalam alam pikiranku sendiri. Satu hal yang ku sesali, bila aku tahu pada saat roda-roda yang memberangkatkanku ke kota Jakarta tidak akan membawaku kembali ke tanah kelahiranku, pastinya aku takkan melangkah menuju roda-roda itu. Tapi, sayangnya aku lebih memilih untuk menyesal dari pada harus menggapai kembali segala kenangan itu walaupun untuk terakhir kalinya dalam hidupku....dan bila masih ada kesempatan yang diberikan kepadaku untuk terakhir kalinya untuk menuliskan namaku, izinkanlah aku untuk kembali menuliskan nama itu, nama yang sudah kulupakan, nama yang hanya tinggal kenangan dan nama yang selalu kurindukan…. Kirana Kasih (Kika)”

“Jika waktu enggan menyapa, siapa yang sanggup memaksanya?”
“Jika perpisahan merupakan akhir dari segalanya, siapa yang sanggup menolaknya?”

Completed : Jakarta, 7 Februari 2012

No comments:

Post a Comment